Oleh Gede Sandiasa
I. Pendahuluan
1.1. Latar
Belakang
Perubahan sistem politik dalam aras administrasi publik, melalui perubahan
pendekatan dari sentralistik, menuju desentralisasi, adalah sebuah perubahan
yang mendasar, menuju babak baru perjalanan bangsa Indonesia ke depan.
Pembuatan keputusan publik yang melibatkan lebih banyak aktor, lintas
organisasi termasuk melibatkan pilihan publik masyarakat “Public choice” dalam rangka mendorong lebih besar lagi partisipasi
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dalam peoses pembangunan. Upaya
penguatan pemerintahan daerah dalam rangka menyusun dan mengatur daerahnya
sendiri, melalui poses-proses pengambilan keputusan yang berakar pada kebutuhan
masyarakat, dapat mempercepat dan meningkatkan kualitas publik di daerah. Sepadan
dengan tulisan Norton yang menyebutkan “government
to the frontier of society and its social and environmental problems and
therefore best placed to identify local needs and to assess what action is
needed” (Norton, 1997: 15).
Percepatan kemajuan daerah, sangat dipengaruhi oleh kepemilikan sumberdaya
di daerah, serta kemampuan sumberdaya manusia dalam mengelola sumberdaya
bersangkutan, baik sumberdaya ekonomi maupun sumberdaya manusia di daerah. Menurut
BC Smith daerah harus dapat mengenali sumber pendapatan dan anggaran, untuk
mengurangi ketergantungannya kepada pusat, serta berpengaruh pada akuntabilitas
dan responsibiltas pemerintah, secara lengkap dapat disimak pendapat berikut
ini:
”what revenue source are the best; why there is a widespread, almost
universal, growing dependency on higher level governments for the income of
area governments; whether that dependency reduces the autonomy of area
governments and undermines their accountability and responsiveness to their
electorates and communities; what effect inflation has on local and regional
spending; why some central governments resist the devolution on extensive
revenue-raising power; and so on” (Smith, 1985: 99).
Pengelolaan sumberdaya “governance” pada definisi pemerintahan
daerah menurut Stoker, Leach & Percy-Smith mengarah lebih kurang pada
sistem polycentric, yang mana
berbagai aktor terlibat di dalam “public
decision making process” (Denters,
2011: 313). Ada tiga elemen penjelasan terkait keterlibatan berbagai stakeholders tersebut, yaitu pertama,
polycentric mengarah pada konstalasi dimana tidak hanya aktor yang tunggal,
tetapi banyak dari berbagai pemain otonom di daerah. Hubungan berbagai aktor
dalam pemerintahan daerah tidak bersifat hirarki. Kedua, local governance bersifat tipikal terkait hubungan antara
berbagai aktor yang hadir dari berbagai domain politik dan sosial ekonomi. Dan
didalam pemerintahan, aktor-aktor mungkin diisi dari berbagai unsur
pemerintahan (supra-government, nasional, regional dan daerah) atau mungkin
fungsi-fungsi “quasi-governmental”. Ketiga, terdapat variasi mekanisme dalam
proses pengambilan keputusan publik dari pemerintahan daerah, sebagai tambahan
dalam mekanisme birokrasi dan politik tradisional semacam hirarki dan mayoritas suara,
keputusan juga dapat didasarkan pada kompetisi atau proses negosiasi (Pierre
& Peters, Leach & Percy-Smith, Bens dalam Denters, 2011: 3013).
Desentralisasi dipahami sebagai berikut:
“is a
process of transferring power to popularly elected local governments.
Transferring power means providing local governments with greater political
authority (e.g., convene local elections or establish participatory processes),
increased financial resources (e.g., through transfers or greater tax
authority), and/or more administrative responsibilities” (anonym, 2000: 2)
Dari pemahaman di atas
yang menyebutkan bahwa desentralisasi adalah proses menyerahkan kekuasaan
kepada pemerintah daerah yang terpilih. Dengan demikian memberikan pemerintah
daerah dengan otoritas politik yang besar, dalam menyelenggarakan pemilihan
umum, penentuan proses partisipasi, peningkatan sumberdaya keuangan dan
mempertanggung jawabkan secara administrasi.
1.2.
Identifikasi Masalah
Dalam penelusuran dari berbagai persoalan yang dihadirkan oleh konskwensi
pelaksanaan desentralisasi, dari ketidakmampuan sumberdaya di daerah serta
kurang dipahaminya persoalan teori dan praktis dari desentralisasi, baik SDM
pusat, provinsi maupun daerah menimbulkan sejumlah persoalan di pusat maupun daerah.
Otonomi daerah melalui desentralisasi atau pelimpahan kekuasaan didaerah.
Menurut Saurif Kadi, bahwa:
“Otonomi daerah bukanlah model Negara
bagian, tapi otonomi dalam kerangka Negara Kesatuan yang bercirikan adanya
kesatuan hukum. Dengan otonomi daerah diharapkan seluruh fungsi pemerintahan
dilaksanakan oleh daerah, kecuali fungsi pertahanan, keuangan dan politik luar
negeri. Dengan otonomi diharapkan daerah akan mampu menghidupi diri sendiri
(swakelola) termasuk pembiayaan pemerintahan” (Kadi, 2008: 105).
Desentralisasi juga
menyangkut persoalan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah melalui prinsip enabling yakni, “strengthening the capacity for self-government within a local
community, using whatever resources and channels (internal or external) seem
most appropriate (emphasis added) (Leach, et all,1994: 235). Namun
sejumlah persoalan muncul dalam pelaksanaan desentralisasi, Munculnya arogansi
kekuasaan di daerah tidak akan bisa dihindari, praktik KKN ditingkat kabupaten
bahkan sampai tingkat pedesaan otomatis akan tumbuh subur (Kadi, 2008: 105).
Selanjutnya menurut Bhenyamin Hoessein bahwa:
Metamorfose dari local autonomy menjadi quasi sovereignty dan local government menjadi Negara kota (polis), dapat dikenali melalui sejumlah
indikator. Pertama, terdapat anggapan
di kalangan elit lokal mengenai hubungan antara sentralisasi dan desentralisasi
yang bersifat dikhotomi dan tidak bersifat kontinum. Kedua, terdapatnya anggapan
mengenai wewenang daerah otonom yang utuh dan sepenuhnya (eksklusif) dalam
berbagai urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang secara exsplisit
menjadi kompetensi pemerintah. Ketiga,
terdapatnya tuntutan oleh elit formal lokal terhadap semua asset pemerintah
yang berada di wilayah daerah otonom. Keempat.
Pengingkaran terhadap segala bentuk kendali dan kontrol pemerintah yang diatur
dalam kerangka hukum. Kelima, penampilan berbagai keputusan menteri, sebagai
kebijakan yang harus dipatuhi” (Hoessein, 2011:144)
Dari sejumlah pemahaman di
atas penulis mencoba mengkritisi persoalan pengelolaan sumberdaya di daerah,
baik sumberdaya ekonomi maupun sumberdaya di daerah, yang menghadirkan sejumlah
persoalan dari ketidakjelasan wilayah kewenangan (secara fisik maupun administrasi)
yang menimbulkan konflik pengelolaan sumberdaya, tumpang tindih pelayanan dan
penyelesaian persoalan masyarakat antar daerah provinsi dan kabupaten.
Kesulitan membedakan tugas pemerintahan dan kepentingan pribadi yang banyak
berbuntut pada mutasi jabatan penting di daerah, penempatan staf yang tidak
mengacu pada profesionalisme dan asas kebutuhan. Untuk ini penulis selanjutnya
akan membahas sejumlah persoalan antara lain: konflik kewenangan antar daerah
provinsi dan kabupaten, konflik tanggungjawab antara provinsi dan kabupaten;
konflik antar pemerintah daerah kabupaten dan pelaksana pengelola sumberdaya di daerah; peluang dan tantangan
desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya; dan pengelolaan sumberdaya menurut
Undang-Undang serta partisipasi publik dalam pengelolaan sumberdaya.
1.3. Tujuan
dan Manfaat Penulisan
Pengkritisasi berbagai persoalan yang ditimbulkan dari praktik yang tidak
sedap dalam desentralisasi, menjadi sejumlah pembahasan yang menarik, dari
berbagai pakar ilmu sosial dan administrasi publik. Kepentingan untum memberikan
gambaran yang luas tentang teori dan penerapan desentralisasi khususnya, di
wilayah provinsi Bali guna menambah jumlah pengetahuan tentang disparitas dan
berbagai kesulitan dalam melaksanakan desentralisasi, diberbagai daerah
Indonesia. Bagi pemerintah daerah Bali dan Kabupaten Buleleng, tulisan ini
dapat dijadikan rujukan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan masyarakat
berbasis partisipasi melalui peluang besar yang dihadirkan melalui
desentralisasi dan otonomi daerah.
II. Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Lokal
2.1.
Konflik Kewenangan antar Daerah Provinsi dan Kabupaten
“Investor Dasong Di Hadang” demikian salah satu head line dari harian umum Nusa Bali Sabtu, 12 Mei 2012. Di
dalamnya menyebutkan bahwa Gubernur Bali meminta menteri kehutanan mencabut
ijin prinsip pemanfaatan lahan 20 hektar yang diberikan kepada PT NBA (Nusa
Bali Abadi) tahun 2007. Investor asing ini hadir atas prakarsa pemerintah
Kabupaten Buleleng, di mana wilayah
Dasong (danau Buyan) adalah bagian dari wilayah Kabupaten Buleleng
bagian selatan. Dalam dekade sebelumnya Pemerintah Buleleng juga pernah
mengeluarkan ijin prinsip pengelolaan wilayah Danau Buyan sebagai “wisata
ekologis dan budaya” seluas 900 kektar kepada PT Anantara, yang telah mendapat
penolakan baik dari Gubernur Bali Dewa Bertha maupun Made Mangku Pastika (Bali Post, 23 Jan 2009), padahal Bupati
Buleleng dengan susah payah berusaha menghadirkan para investor bersangkutan di
Buleleng.
Persoalan ini berbuntut panjang pada proses pembangunan yang melibatkan
Bantuan Gubernur pada masyarakat Buleleng, dari sumber yang dapat dipercaya
menjelaskan bahwa bantuan yang melibatkan tanda tangan Bupati untuk masyarakat
Buleleng, sering kandas dan tidak berlanjut. Sehingga nyaris bantuan gubernur
kepada masyarakat Buleleng terhambat, padahal harapan masyarakat Buleleng
kepada Gubernur Bali Made Mangku Pastika sangat besar, karena beliau berasal
dari Kabupaten Buleleng, sehingga kesan di Masyarakat Buleleng Gubernur tidak
bisa diharapkan untuk masyarakat Buleleng. Beruntung ada kebijakan yang secara
langsung dapat dilakukan dengan menggunakan kewenangan Gubernur Bali, seperti
bantuan pada Desa Pakraman, Subak dan
Jaminan Kesehatan Bali Mandiri yang langsung dengan kewenangan Gubernur dapat secara
langsung diterima masyarakat.
Penolakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dari Perda No. 16/2009 tentang RTRW Bali, juga kerapkali
dihubungkan dengan persoalan ketidakharmonisan hubungan antara Bupati Buleleng
dengan Gubernur Bali. Disamping itu otonomi daerah juga menghasilkan penolakan
Gubernur terhadap pengajuan mutasi pejabat daerah pada akhir-akhir ini, yang
disinyalir tidak melalui mekanisme dan kental dengan persoalan politik, baik
menjelang maupun pasca Pilkada Buleleng tahun 2012.
Selanjutnya gugat menggugat potensi wilayah, seperti sengketa tanah negara
di Kawasan Sendang Pasir Desa Pemuteran Kecamatan Grokgak Kabupaten Buleleng
yang dilakukan oleh Bupati di Pengadilan Negeri Singaraja. Yang mana sebelumnya
Gubernur Bali juga telah melakukan gugatan terhadap obyek yang sama. Dalam
kasus ini Bupati Buleleng, Putu Bagiada disebut-sebut sedang menyiapkan gugatan
intervensi atas proses hukum gugatan Gubernur Bali. Hal ini memicu kekhawatiran
sejumlah warga desa dari Dusun Sendang Pasir Pemuteran, yang akhirnya berupaya
untuk menemui Bupati. Seluruh gugatan ini ditujukan kepada PT Margarana,
sedangkan PT Margerana sebagai pihak tergugat menawarkan solusi dengan
memberikan bagian kepada Gubernur 5 % dari total lahan atau sekitar 12 ha (baca
Bali post, 5 Agustus 2011). Dengan
demikian apabila terjadi keputusan, maka pihak kabupaten Buleleng tidak
dilibatkan, apakah akan mendapat bagian dari keputusan itu?, hal ini
menyebabkan munculnya gugatan intervensi dari Bupati Buleleng sebelum
pengadilan Negeri Singaraja mengambil keputusan. Pada pada jaman sentralisasi telah
terjadi konflik horisontal antara pihak kapitalis (perusahaan perkebunan)
dengan penduduk atau pekerja kawasan Sendang Pasir.
Pada
awalnya pengelolaan tanah di kawasan Sendang Pasir dilakukan oleh orang Belanda
pada tahun 1917 dengan mendatangkan pekerja dari Jawa dan Madura, pada tahun
1935 tanah yang semula dikuasai oleh Belanda dialihkan pada pengusaha Tiong
Hoa, Tahun 1955 dialihkan pada YKP ( Yayasan kebaktian pejuang) disini pun
warga dapat mengelola dan menggarap lahan perkebunan Sendang Pasir dengan aman
tentram rukun damai dan dapat mencukupi kebutuhan kehidupannya hingga tahun
1970. Permasalahan muncul kurang lebih tahun 1970 yakni ketika hadirnya PT
Margarana yang ditunjuk sebagai pengelola lahan perkebunan rakyat oleh YKP di Dusun
Sendang Pasir dengan membawa penggarap baru yang dibawa dari wilayah Bali Timur
(Kabupaten Karang Asem), Mulailah aksi-aksi ancaman, teror dan tekanan-tekanan
lainnya untuk mengusir warga Sendang Pasir (Tahun 1983) yang dulu merabas hutan
dan semak belukar dengan tetes keringat bahkan dengan mempertaruhkan nyawa
sekalipun, untuk dijadikan lahan yang produktif dan ekonomis yang dapat
menunjang penghidupan warga (Taufik Hidayat, 2001:5 dalam Rivai,
2010). Lalu apakah kemudian di era desentralisasi saat ini akan menjadikan
komplik kepentingan yang lebih besar antara wilayah Kabupaten dengan Wilayah
Provinsi, ini menjadikan pekerjaan rumah bagi kearifan pada pemimpin daerah,
yang semestinya mengacu pada kemaslaatann bersama demi kesejahteraan masyarakat
Bali, dan Buleleng pada khususnya.
2.2. Konflik
Tanggungjawab antar Provinsi dan Kabupaten
Penyelenggaraan wewenang dan tanggungjawab di daerah,
yang mana yang menjadi otoritas provinsi dan kabupaten/kota, sering tidak
memiliki ketentuan baku, dan dalam batas-batas yang samar-samar. Sedangkan Smith
(1985: 8-12) mengungkapkan bahwa:
“desentralisasi
mencakup beberapa elemen, yakni : pertama, desentralisasi memerlukan pembatasan
area, yang bisa didasarkan pada tiga hal yaitu pola spasial kehidupan sosial
dan ekonomi, rasa identitas politik, dan efisiensi pelayanan publik yang bisa
dilaksanakan. Kedua, desentralisasi meliputi pola pendelegasian wewenang, baik
itu kewenangan politik maupun kewenangan birokratis” (dalam Muluk, 2009: 55).
Pejabat daerah provinsi dan kabupaten sering memasuki
wilayah terlarang, atau bebas bagi kedua belah pihak, baik dari sisi kewenangan
administratif maupun kewenangan wilayah atau batas-batas fisik, yang senyatanya
beberapa pejabat tingkat II menyebutkan bahwa pemda provinsi secara fisik tidak
diakui memiliki wilayah. Akan tetapi dalam batas-batas tertentu Gurbenur dapat
memiliki kewenangan yang luas seperti pengaturan tentang Desa Pakraman, Subak dan Lembaga Perkreditan Desa di Bali, serta
pelaksanaan pelayanan kesehatan JKBM (Jaminan Kesehatan Bali Mandara),
disebutkan bahwa penduduk yang berKTP bali bila yang tidak terkaper dalam askes
dan jaminan kesehatan lainnya, maka wajib mendapatkan pelayanan JKBM di seluruh
wilayah Bali.
Persoalan yang muncul kemudian terjadi tumpang tindih
pelayanan terhadap masyarakat dan pemberian insentif pada institusi yang
bersifat sukarela. Semisal penyelenggaraan dan pelestarian Desa Pakraman serta subak, baik melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali nomor 3 tahun 2001 tentang
Desa Pakraman dan Lembaga adat, yang
kemudian peraturan daerah provinsi berkaitan dengan lembaga adat, dibarengi
dengan kewenangan pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan dan bantuan
kepada lembaga adat. Ketidak mengertian para pengurus lembaga adat seperti Desa Pakraman sebagai lembaga sukarela
berkonsep ngayah (pengabdian)
menuntut hak lebih kepada Gubernur (seperti insentif pengurus) supaya memenuhi
standar UMR, padahal sejak keberadaan Desa
Pakraman yang dulunya bernama “desa adat” tidak mendapat insentif ataupun
gaji, semua di dasarkan pada asas sukarela. Kondisi ini memicu komplik dan
tuntutan terhadap kebijakan gubernur berawal dari pertemuan simakrama di Gedung Kesenian Gede Manik
Singaraja, 25 Pebruari 2012 (baca Metro
Bali, 9 Mei 2012). Padahal disisi lain melalui Peraturan
Bupati, seperti Perbup Buleleng nomor 40 tahun 2009, tentang besarnya tunjangan
penghasilan Kelian Desa Adat/Pakraman dan Kelian Subak Kabupaten Buleleng; Keputusan Bupati Buleleng Nomor
142/219/HK/2011, tentang Penetapan Pemberian Bantuan Kepada Desa Pakraman, Pemberian Tunjangan
Penghasilan (insentif) kepada Kelian Desa
Pakraman, Kelian Subak dan Kelian
Subak Abian se-Kabupaten Buleleng, keinginan lembaga adat untuk mendapatkan
insentif telah terkaper.
Dengan otonomi daerah, dimana daerah bisa mengatur
daerahnya termasuk anggaran dan pendapatan daerah, memiliki
konsekuensi politik dan sosial yang penting bagi masyarakat lokal dan otoritas daerah
(Elcock,2005:
127). Setiap
daerah kabupaten akan menyelenggarakan pemerintahan secara berbeda dan
penyelenggaraan keuangan yang berbeda sesuai dengan potensi dan sumber keuangan
masing-masing daerah, contoh pemberian insentif bagi lembaga adat Subak dan Desa Pakraman, secara berbeda menjadikan polemik bagi setiap daerah
yang ada di Bali. Bagi daerah yang makmur seperti Badung dan Denpasar tentu
akan mampu memenuhi kebutuhan secara layak bagi lembaga bersangkutan, sedangkan
bagi wilayah Karang Asem dan Buleleng jauh dari tuntutan masyarakat. Disisi
lain dimensi ngayah akan kehilangan
makna, wujud partisipasi masyarakat dalam melestarikan budaya leluhur menjadi
menurun, semua beorientasi pada profit dan insentif yang diperoleh.
Otonomi daerah juga memunculkan konflik baru dalam
persoalan pengelolaan aset di daerah, baik dalam lingkup terbatas seperti antar
daerah, dan provinsi maupun antar desa, maupun Desa Pakraman. Menurut Gede Parimartha bahwa, “Peraturan Daerah (Perda) Desa
Pekraman Nomor 3 tahun 2001. Perda itu memberikan bobot yang tinggi atau
otonomi desa adat (desa pekraman) yang berlebihan, namun tidak mampu membangun
kedamaian bagi seluruh warganya” (Kompas.Com,
15 Des 2011). Sejumlah persoalan yang muncul dari arogansi pemaknaan
otonomi, sampai pada tingkat desa bahkan desa adat, sejumlah persoalan
pengelolaan asset dan potensi tidak jarang menghadirkan konflik horizontal,
seperti perebutan areal parkir, pemungutan retribusi oleh desa pakraman melalui pecalang
(Sistem pengamanan Desa Pakraman)
pada sona umum, seperti Pura Tanah Lot di Tabanan, pantai-pantai yang dulunya
sebagai akses umum sekarang telah dipajaki seperti pantai Segara Penimbangan
dan eks Pelabuhan Buleleng. Pemungutan biaya keamanan pada penduduk pendatang
oleh pecalang yang mahal dan arogan, konflik pengelolaan sumberdaya antar Desa Pakraman, maupun dengan desa dinas,
di mana kadang wilayah desa dinas berimpitan dengan desa adat, dan juga bisa
berbeda (lebih luas atau lebih sempit). Berbagai persoalan inilah dalam
kerangka otonomi daerah perlu diadakan pengaturan kembali agar tidak merugikan
masyarakat secara umum.
Peraturan
Daerah Propinsi Bali nomor. 8 tahun 2002 dan
peraturan lainnya tentang Lembaga Perkreditan Desa, sebagai peluang dan
pendorong munculnya akses prekonomian di tingkat desa, mendorong investasi dan
perputaran pembangunan di tingkat desa, khususnya di Desa Pakraman. Dengan demikian selain memiliki pelaba pura (asset berupa tanah, tempat ibadah dan kelengkapannya),
dalam mengelola keuangan Desa Pakraman
dari asset desa yang jumlahnya dari ratusan ribu sampai milyaran, terjadi
perubahan struktur dan sistem penataan keuangan desa menjadi asset produktif
dan dapat menciptakan lapangan kerja di tingkat desa. Selain dampak secara
positif, dampak negatif juga tidak bisa dihindarkan. Kemampuan pengelolaan
sumber keuangan di desa sangat bervariasi, dan sebagian besar pengurus LPD
masih lemah dalam sistem pengelolaan keuangan desa. Kondisi demikian
menghadirkan penyelenggaraan dana desa, korupsi dan salah urus. Disamping itu
juga menjadi konflik kecemburuan sosial antar penguasa dan tokoh di desa,
seperti dialami oleh LPD Sangalangit dan Sudaji di Buleleng (baca Bali Post, 29 Jan 2010 & 14 Juni 2011). Para
prajuru itu menduga, di Buleleng masih banyak terdapat LPD bermasalah namun
masih bisa ditutupi oleh pengurusnya. Terbukti, dari hasil pengumuman Bagian
Ekbang Setda Buleleng belum lama ini, terdapat 19 LPD sakit dari sekitar 146
LPD yang ada di Buleleng. Pada saat diumumkan itu, LPD Banyualit tidak termasuk
dalam daftar LPD yang bermasalah. Permasalahan LPD Banyu Alit itu muncul justru
ketika warga tak bisa mencairkan tabungan (Bali
Post, 14 Juli 2011).
Berbagai
persoalan pelayanan pada masyarakat, pemberian bantuan sosial pada masyarakat,
sering tumpang tindih dan tidak merata. Terlebih dengan penerapan sona distrik
dan daerah pemilihan, bagi desa atau masyarakat sebagai konstituen dari pejabat
daerah apakah Bupati maupun DPRD, bantuan sosial dan bantuan pembangunan sarana
fisik dan non fisik terus mengalir baik dari provinsi, kabupaten, bansos DPRD,
hingga sampai gang-gang kecil mendapat bantuan pembangunan. Sedangkan daerah
yang tidak memiliki perwakilan di pejabat daerah, meskipun berada di pusat
kota, bansos dan bantuan pembangunan jarang ada, bahkan ada yang tidak mendapat
bantuan sama sekali. Hal ini kiranya sesuai dengan pendapat Sugiharto (1996:
29-30) yang menyebutkan bahwa modernisme mengabdikan dirinya hingga abad kedua
puluh ini melalui dominasi sains dan kapitalisme, yang menghadirkan tatanan sosial
dengan menghadirkan konskwensi buruk bagi kehidupan manusia, dimana salah
satunya menghasilkan dampak kembalinya tribalisme.
Tribalisme disini dimaksudkan sebagai mentalitas yang mengunggulkan suku
atau kelompok sendiri, termasuk daerah konstituen. Hal ini merupakan sebuah
konskuensi logis dari hukum survival of
the fittest dan penggunaan kekuasaan koersif. Dengan keadaan demikian maka
otonomi daerah akan menghasilkan tidak keseimbangan, ketimpangan dalam
pembangunan dan perjuangan dari kelompok-kelompok untuk mencetak dan
mendudukkan wakilnya di daerah dengan cara apapun juga.
2.3. Konflik antar Pemerintah
daerah Kabupaten dengan Pelaksana
Pengelolaan
sumber daya di daerah
Persoalan politik sering berpengaruh pada sistem pengelolaan sumberdaya di
daerah, seperti pemecatan Direktur PT Pasar pada perusahaan milik daerah,
dikabupaten Buleleng yang nota bene bukan karena profesionalismenya, atau
terjadi penyimpangan dalam hal pengelolaan perusahaan, akan tetapi pada
persoalan politik, di mana direktur dan beberapa jajarannya tidak mendukung
pencalonan putra mahkota dalam Pilkada 2012. Hal ini berbuntut pada gugatan
pada pengadilan Tata Usaha Negara terhadap Bupati Buleleng oleh Direktur PT
Pasar (baca Bali Post, 13 Peb 2012),
selain itu dalam kerangka otonomi ini, dipahami sebagai quasi soverign dan local
government menjadi negara kota (Hoessein, 2011: 144).
Dengan demikian kekuasaan pemerintah sangat luas dan berkuasa, seperti dibeberapa kasus di Buleleng
pengangkatan dan pemecatan orang-orang penting di dalam perusahaan daerah, dan
pejabat daerah adalah berdasarkan kerabatan dan hubungan politik seperti Para
kadis, para camat, direktur Bank
Buleleng, Direktur PDAM. Direktur
Perusahaan Daerah Sawatantra Nengah Gelgel yang dulunya memiliki hubungan
politik dengan Bupati berkuasa, namun saat ini disinyalir melakukan pembelotan
pada calon bupati yang menang dalam Pilkada Apil 2012, diberhentikan tanpa sepengetahuan
dewan padahal dari sisi aturan menyatakan “Bupati berwewenang untuk
memberhentikan dan melantik direksi atas pertimbangan badan pengawas dan
mendapat persetujuan lembaga dewan” (Bali
Post, 12 Maret 2012).
Babak ini berlanjut sampai pada mutasi pejabat dan pemindahan pegawai
disinyalir sangat kental pimpinan daerah menggunakan kekuasaannya sebagai raja
kecil di daerah, pemberhentian mantan Kepala Badan Keluarga Berencana
dan Pemberdayaan Perempuan (KBPP), Drs. Gede Komang M.Si, yang kini telah
mengajukan gugatan melalui PTUN (Bali
Post, 25 Peb 2012), selanjutnya dimutasinya
Kepala SMPN 5 Busungbiu, I Nengah Konten, ke ke SMPN 1 Busungbiu. Apalagi,
Nengah Konten bukan sekadar dipindah tugaskan, namun justru didegradasi menjadi
guru biasa di SMPN 1 Busungbiu, yang berbuntut pada kegiatan mogok sekolah oleh
civitas dan siswa SMPN 5 Busung Biu, dan beberapa mutasi guru dan pejabat
publik yang terjadi di Buleleng kurun waktu menjelang pilkada, menunjukkan
demikian besarnya kekuasaan pimpinan daerah dalam memaknai dan mengimplementasi
ketentuan tentang desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam keadaan demikian
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah perlu ditata ulang, untuk membentuk kembali lebih rasional alokasi fungsi publik dan tanggung jawab ke tingkat pemerintahan yang berbeda dan jenis organisasi (Dollery & Wallis, 2001:165).
III. Desentralisasi menjadi Peluang dan Tantangan dalam Pengelolaan
Sumberdaya
secara Mandiri di Daaerah
Menurut Fumihiko Saito
(Saito, 2011: 487), terdapat beberapa pendapat dalam penyelenggaraan desentralisasi
terutama bagi ilmuan pendukung desentralisasi antara lain. Pertama, “local revenue
raising” dengan desentralisasi dapat melaksanakan perbaikan pelayanan pada
“grassroot”, sehingga kualitas
layanan akan terjadi timbal balik, berupa “share
the cost of service”. Kedua, partisipasi
dalam pembuatan kebijakan daerah, juga merupakan hal yang penting. Proses
partisipasi adalah hal yang signifikan dalam meningkatkan suara “voice their concern in affair” yang
sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka. Ketiga,
dapat mengurangi korupsi dan penyalahgunaan keuangan melalui perwakilan
politik dan para administrator. Jika
pemilihan dilakukan melalui mandat populer, maka interelasi antara pemilih dan
yang dipilih menjadi intensif, populasi akan memberikan kontribusi dalam
menciptakan hubungan kepercayaan dan akuntabilitas antara “leaders and followers”. Keempat, penguatan melalui dimensi
kompetisi dimana pemerintahan daerah diselenggarakan, dengan pemerintah pusat
atau antar pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya yang ada. Menurut Xufeng Zhu & Qiyuan Jiao
“governments
more effective and efficient in providing public services, which can result in
local governments attracting more investments and enhancing competitiveness” (Zhu
& Jiao, 2012: 153). Pendapat yang sepadan juga disampaikan oleh Coen JG
Holtzappel & Martin Ramstedt sebagai berikut:
“competition of many
local governments for mobile resources such as investment capital and human
resources increase pressure on local government to perform innovation in
service delivery from the individual
local government. That decentralization would lead to better governance
quality and less corruption following decentralization” (Holtzappel & Ramsteds, 2009: 101).
Selain nilai positif di atas,
menurut Saito kalangan pengkritisi desentralisasi menyebutkan terdapat
kelemahan desentralisasi antara lain. Pertama,
economic efficiency, dalam kenyataan mentransfer kewenangan ke daerah tidak
begitu mudah, untuk memahami kebutuhan daerah dan memfasilitasi interaksi
dengan “grassroot” dan berbagai
urusan-urusan daerah perlu melakukan koordinasi-koordinasi dengan pemerintahan
pusat, yang melibatkan sejumlah biaya. Semisal kalau di berikan contoh di
Indonesia, dalam mengajukan anggaran DAK dan DAU perlu melakukan berbagai
proses koordinasi, baik dengan pemerintah pusat, yang tidak hanya cukup melalui
sistem perwakilan, baik melalui DPD, maupun DPR perwakilan partai, tetapi
kadang pemerintah daerah langsung datang kepada pemerintah pusat, belum lagi
koordinasi dengan DPRD, penggalian dan penyerapan aspirasi masyarakat dan
lain-lain. Dari proses pilkada saja sudah dirasakan oleh beberapa kalangan
merupakan pemborosan yang luar biasa dalam sistem pemilu langsung di daerah
saat ini. Kelemahan desentralisasi selanjutnya “closeness between local government and people” dalam pelaksanaan otonomi pemerintah daerah
cenderung menyalahgunakan kekuasaan lokal. Peluang yang dihadirkan melalui
otonomi daerah sering disalahgunakan oleh pemimpin-pemimpin di daerah. Alasan
desentralisasi yang dikemukakan kelompok pendukung desentralisasi untuk
pencapaian efisiensi dan efektifitas, tidak tercapai. Peningkatan sumberdaya “revenue enhancement” yang terjadi malah
sebaliknya “limitation on resources”
tidak mampu meningkatkan kualitas layanan. Seperti kasus di Kabupaten Buleleng
PAD yang di miliki pemerintah daerah untuk tahun 2011 mencapai kurang lebih 70
milyar, akan tetapi anggaran yang dilibatkan di daerah mencapai 670 milyar.
Dalam keadaan demikian pemerintah daerah justru menggantungkan diri pada
pemerintah pusat dan provinsi Bali.
Kelemahan berikutnya
adalah “the merits of participation”; rekrutmen pegawai dan pejabat daerah menjadi
perhatian penting. Pemerintah daerah sering tidak melibatkan proses partisipasi
dalam rangka rekrutmen, lebih menekankan pada kemauan pemimpin “elit capture” dalam menentukan dan
merekrut pegawai maupun pejabat di daerah. Dalam hal ini sering melibatkan
proses yang inklusif dalam pada setiap waktu dan penggunaan energi diatur,
tanpa memperhatikan skill dan kompetensi yang tersedia serta kebutuhan daerah.
Menjelang pilkada dan pasca Pilkada 2012 di Buleleng, terjadi berbagai mutasi
pegawai dan jabatan, dari tenaga pendidik, pamong praja, camat, kepala kantor
dan dinas yang lebih menekankan pada proses politik daripada pertimbangan
kebutuhan. Selanjutnya “the democratic
effect stressed by decentralists receive critism”; pendukung desentralisasi
menyebutkan akan terjadi pengurangan korupsi, lebih transfaran dan akuntabel.
Tetapi perlu disadari lokalitas tidak homogen, komuniti lokal bermain dengan
disparitas dalam power, maka elit lokal akan bermain sesuai dengan peluang yang
ada. Sepadan dengan pendapat ini Vedi R Hadiz menyampaikan
Desentralisasi kekuasaan juga tercermin dalam
bangkitnya elite-elite daerah. Ini tergambar dalam undang-undang baru tentang
pemerintahan daerah, yang secara signifikan memperkuat kekuasaan aparat
pemerintahan lokal. Dengan demikian, kepentingan-kepentingan oligarkis lokal
yang berkembang di dalam sistem patronase orde baru bisa jadi akan muncul
sebagai suatu kekuatan yang lebih menonjol di dalam persaingan memperebutkan
kontrol terhadap negara dan lembaga-lembaganya di tingkat local (Hadiz, 2000:
160).
Kasus yang menggelitik, terjadinya korupsi masal dari
beberapa DPRD di tingkat daerah, termasuk beberapa pejabat ekskutif di daerah. Dalam masa penerapan UU No. 22
tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, DPRD Buleleng tersangkut korupsi
massal Dana APBD tahun 2001 (Bali Post, 25
Okt, 2002). Selanjutnya berita 32 tokoh menjadi tersangka Korupsi masal dana
tunjangan DPRD di Kabupaten Gunung kidul, tahun anggaran 2003-2004 merugikan
Negara 2,8 milyar (baca, Info
Korupsi.com, 5 Agustus 2011), sebanyak
32 anggota Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) yang terlibat dalam kasus
korupsi APBD Gate Tahun 2002, memenuhi panggilan Kejaksaan Negeri Bogor (baca Forum Kompas, 12-2-2010). Dengan
demikian di era desentralisasi dan otonomi daerah ke depan akan makin banyak
pejabat daerah yang tersangkut persoalan hukum, apabila kemampuan sumberdaya di
daerah tidak memadai. Ditambah lagi menurut Saito pengawasan pemerintah pusat
semakin terbatas dalam hal anggaran dan keuangan daerah. Oleh karena itu
pengawasan berikutnya adalah menjadi tantangan bagi Dewan Perwakilan Daerah dan
berbagai komponen masyarakat di daerah.
“Inter-jurisdictional
competition”; tak ubahnya seperti pasar, mendorong
pemerintahan yang lebih efisien dan responsif, kondisi ini sering tidak nampak
dalam kenyataannya, menjadi perhatian kaum pengkritisi masalah desentralisasi.
Dalam kompetesi sering dicapai, orang dapat bebas bergerak dari satu tempat ke tempat lain,
untuk mencari dan matching pilihan mereka dan layanan yang diberikan
pemerintahan daerah. Akan tetapi pelayanan sering imposibel bagi masyarakat
yang ingin memperoleh pelayanan, dengan kondisi minimal (tanpa public transport, public service dan public health) yang memadai dan
tersedia dekat masyarakat. Dan kelemahan yang terakhir menurut Saito adalah
mengarah pada “ethnic harmonization and
national unity”, granting regional
autonomy to subnational government simply shift ethnic tensions from national
to local levels”, wacana Bali Merdeka, Papua Merdeka menjadi persoalan
nasional dalam persoalan etnik, daerahisme dalam memperjuangkan haknya
ditingkat nasional akan berubah pada skup yang lebih kecil,
daerah kabupaten, kecamatan dan mencapai tingkat perjuangan ornamen-ornamen
yang berbau kearifan lokal, seperti adat istiadat, pengakuan hukum waris adat
dan hak hulayat menjadi pertarungan sengit dan dapat menimbulkan komplik
horizontal, seperti masalah tanah adat di Desa Lemukih, Kabupaten Buleleng dan
Tanah Sendang Pasir di Kecamatan Grokgak Kabupaten Buleleng.
Dengan demikian apabila ketidakcukupan kemampuan
sumberdaya daerah, maka desentralisasi menjadi bom atom bagi pemerintah
nasional, tidak hanya dapat berpengaruh pada stabilitas makro ekonomi, terkait
kebijakan moneter dan fiscal, tetapi juga berdampak negatif pada persatuan dan
kesatuan bangsa, akibat terjadinya perebutan dan kompetisi memperoleh akses
sumberdaya baik nasional, regional maupun di tingkat daerah.
IV.Pengelolaan Sumberdaya Lokal Menurut
Undang-Undang
4.1.
Sumberdaya lokal menurut UU No. 5 tahun
1974
Kendali pusat melalui undang-undang No. 5 tahun 1974,
berlaku terhadap pengelolaan sumber daya alam. Menurut Bernadinus Steni, sebagai
pulau yang kaya dengan sumberdaya alam, semestinya masyarakat Orang Papua di
pulau Irian Jaya dan Orang Dayak di Kalimantan secara de facto maupun de
jure berhak penuh atas penguasaan dan pengelolaan atas sumberdaya alam.
Namun, UU No. 5 Tahun 1974 justru mengingkari hak-hak penguasaan masyarakat (tenurial
rights) lokal atas sumberdaya alam. Sebaliknya, negara mendaulat 70%
kawasan daratan menjadi kawasan hutan negara. Akibatnya, dalam soal pemberian
izin pengusahaan sumberdaya alam, masyarakat setempat benar-benar hanya sebagai
penonton. Oleh UU No. 5/1974, otonomi daerah lebih dilihat sebagai kewajiban
ketimbang hak. Otonomi daerah adalah kewajiban daerah untuk ikut melancarkan
jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang
harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Otonomi daerah
dengan demikian bukan otonomi rakyat tetapi otonomi Negara yang diwakili oleh
pusat. Undang-undang ini secara sistematis didukung oleh berbagai peraturan
organik yang mengkondisikan daerah sebagai penyedia tanah, pekarangan, kebun
maupun rumah tinggalnya pemerintah pusat. Misalnya, Keppres No. 55 Tahun 1993
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum serta Peraturan
Menteri Agraria/Kepala BPN No. 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keppres No. 55 tahun 1993. Kedua peraturan
tersebut menyatakan bahwa jika dalam pembebasan tanah tidak tercapai
kesepakatan antara pejabat negara dengan pemilik tanah maka demi kepentingan
umum tanah tersebut harus tetap diambil alih Negara (Steni, 2004: 1)
Demikian juga beberapa kasus yang terjadi dalam kurun
waktu orde baru, dimana dalam pengurusan soal agraria seperti pensertifikatan
tanah, sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah pusat, melalui Badan Pertanahan
Nasional yang ada di daerah. Maka tak pelak terjadi banyak persoalan tentang
sengketa pertanahan yang diwariskan oleh pemerintah orde baru melalui penerapan
UU no. 5 1974. Seperti di Bali tidak kalah pentingnya, seperti kasus tanah Lemukih terungkap dalam dialog interaktif
Radio Guntur 31 Desember 2010, diawali dengan upaya pensertifikatan tanah
ulayat (desa adat) pada tahun 1972-1974, lalu menjadi persoalan yang serius
mulai tahun 2003 dan pada tanggal 22 Oktober 2010 terjadi pembakaran 14 rumah
pemilik sertifikat (Kompas, 2010). Kasus tanah Lemukih berawal dari
sengketa tanah adat Lemukih 93 hektar. Dengan adanya aturan landreform
kepemilikan tanah dibatasi. Termasuk tanah Desa Lemukih dibatasi maksimal 30
hektar. Sisanya 66 hektar dimohon oleh penggarap tanah sehingga keluar
sertifikat hak milik (Ratnasa, 2010).
Kesimpulan menurut UU No. 5 1974 tentang pengelolaan
sumber daya menurut Steni (2004: 18) menyebutkan bahwa, (1) UU Pemerintahan Daerah belum menyerahkan
kewenangan pengelolaan SDA ke daerah. Desentralisasi yang ada lebih pada
otonomi sistem pemerintahan secara politik dan bukan otonomi pengaturan SDA
berdasarkan kebutuhan rakyat di daerah; dan (2)
desentralisasi dalam pengelolaan SDA lebih bersifat teknis daripada
substantif. Ketentuan hukum yang ada lebih banyak menjabarkan implementasi
metode pengelolaan sumberdaya alam di daerah dan bukan pengaturan oleh daerah
sendiri atau belum secara serius menguatkan konsep otonomi untuk mengatur dan
mengurus kepentingan sendiri. Singkatnya, daerah adalah “piring petri” atau
kelinci percobaan dari laboratorium pusat.
4.2.
Sumberdaya lokal menurut UU No. 22 tahun 1999
Menurut pasal 10 ayat (1) daerah berwenang mengelola
sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab
memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Kewenangan daerah di wilayah laut, sebagaimana dimaksud dalam pasal 3,
meliputi : a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut
sebatas wilayah laut tersebut; b. pengaturan kepentingan administratif; c.
pengaturan tata ruang; d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan
oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan e. bantuan
penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
(3) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah
Propinsi. (4) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan dalam Pasal 11 (1)
Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan
pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan yang diatur
dalam Pasal 9. (2) Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,
pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan
hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
Dengan demikian pengelolaan sumberdaya menurut UU nomor 22 tahun 1999,
bahwa pemerintah daerah dapat mengelola sumberdaya nasional yang berada di
wilayahnya dan bertanggungawab untuk memelihara kelestarian sumberdaya bersangkutan
menurut Undang-undang. kewenangan pemerintah daerah sangatlah besar, selain
menerima pengelolaan sumberdaya nasional, pemerintah propinsi juga dapat
menentukan batas-batas wilayah kewenangan, yang bisa merambah pada batas
wilayah kabupaten. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan dalam rangka
mengelola wilayah antara kabupaten dan provinsi. Hal ini didukung oleh pendapat
yang menyatakan bahwa Kewenangan pemerintah Daerah menurut UU No 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah sangatlah besar. Pemerintahan Daerah diberikan kekuasaan yang sangat
besar dalam mengelola daerahnya terutama sekali Pemerintahan Kota atau
Kabupaten (Theceli, 2008).
4.3.
Sumberdaya lokal menurut UU No. 32 tahun 2004
Revisi Undang-undang 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang dapat
dikatakan sebagai pergantian UU menjadi UU nomor 32 tahun 2004, untuk
memperbaiki kondisi pelaksanaan otonomi daerah yang kebablasan. Dalam UU No.22 tahun 1999
hanya disebutkan bahwa Negara Indonesia terdiri atas daerah provinsi dan daerah
kabupaten kota. Ini ditafsirkan tidak adanya hirarki antar pemerintahan
sehingga muncul konsep “kesejajaran antara provinsi dan kabupaten/kota”. Akibatnya,
banyak kabupaten/kota yang tidak tunduk kepada gubernur dengan alasan sesuai
dengan aturan Undang-undang. Ketidak seimbangan antara eksekutif dan legislatif
(Legislative heavy), yang dikhawatirkan
banyak kalangan pasca UU No.22 tahun 1999 berlaku mulai hilang. Hal ini dapat
dilihat bahwa melalui UU No.32 ini, kewenangan DPRD banyak yang dipangkas,
misalnya aturan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, DPRD yang hanya
memperoleh laporan keterangan pertanggungjawaban, serta adanya mekanisme evaluasi
gubernur terhadap Raperda APBD agar sesuai kepentingan umum dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam pengelolaan sumber daya lokal di daerah menurut pasal 18 dan 21 UU
nomor 32 tahun 2004 menyatakan bahwa daerah mendapatkan bagi hasil dari
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah.
Sangat penting bagi kepala daerah untuk membangun sistem pemerintahan yang
kuat. Beberapa sistem yang harus dibangun agar pemerintahan dapat menggali dan
mewujudkan pengelolaan sumberdaya, yang sifatnya terbatas. Sistem yang perlu
dibangun agar pengelolaan pemerintahan daerah dapat berjalan secara baik antara
lain: sistem perencanaan pembangunan, sistem pengelolaan keuangan daerah,
sistem kepegawaian, sistem pengelolaan aset daerah, sistem pengambilan
keputusan, sistem penyeleksian dan pemilihan rekanan, sistem dan standar
pelayanan, sistem pengawasan. Sistem yang dimaksud di sini dapat bersifat
manual maupun yang berbasis teknologi informasi. Dukungan teknologi informasi
menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan jika pemerintahan ingin berjalan
lebih efisien dan efektif.
4.4. Partisipasi Publik dalam Pengelolaan
Sumberdaya di daerah Menurut Rudyanto (2004: 3) bahwa, untuk
pelaksanaan otonomi daerah di masa mendatang haruslah yang mampu meningkatkan
pelayanan publik, kesejahteraan warga dan mendorong kondisi dunia usaha yang
kondusif bagi pengembangan ekonomi lokal/daerah, beberapa hal yang perlu
dilakukan menurutnya adalah (1) adanya
keikhlasan pusat agar daerah memperoleh hak-haknya untuk mengolah dan mengelola
sumberdaya di daerahnya secara optimal; (2) untuk mencegah disincentives, pemda perlu mengembangkan strategi efisiensi dalam
segala bidang; (3) untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah, perlu
dikembangkan ekonomi lokal yang kuat dan secara sistemik akan mensinergikan
potensi sumberdaya lokal dengan basis kemitraan lintas aktor-aktor pembangunan
(stakeholders); (4) memanfaatkan dan
mengelola SDA secara proporsional dan arif, agar kekayaan (resources endowment) tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan
lestari (green economic paradigm);
(5) mendorong agregasi permintaan masyarakat (public demand) terhadap layanan publik dengan mendorong partisipasi
masyarakat dalam perencanaan, pembuatan dan pengawasan dari kebijakan
pembangunan (ekonomi) daerahnya.
Selanjutnya terkait dengan pengelolaan sumber
daya ekonomi, pemerintah
daerah yang efektif memiliki pengetahuan teknis, kapasitas, dan sumber daya keuangan untuk mempertahankan pelayanan publik lokal pada tingkat yang memuaskan kepada warga. Mereka belajar dari pengalaman dan mereka mampu untuk menyelesaikan sesuatu. Meskipun kemajuan dalam kapasitas dapat diukur
dalam berbagai bidang, dua poin penting harus diingat:
1)
Untuk sebagian besar, masyarakat akan mengukur keberhasilan demokrasi lokal melalui kemampuan pemerintah lokal dalam meningkatkan kualitas hidup mereka, yaitu dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan sosial yang dirasakan dan memberikan atau meningkatkan pelayanan publik dasar.
2) Kemampuan
Pemerintah daerah
untuk melakukan pembatasan
secara ketat ketika sumber daya keuangan tidak cukup untuk memenuhi fungsi utama mereka dan ketika pendapatan yang signifikan yang hilang mengalami
kebocoran dan korupsi (Anonym, 2000: 12)
Dari desentralisasi dapat diperoleh manfaat yang sangat
penting adalah memberikan kepada pemerintah daerah untuk mendorong partisipasi
politik dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. “the
opportunity of participation in public decision-making” (Ichimura
& Bahl, edt, 2009: 158). Secara tegas Smith (1985) menjelaskan bahwa desentralisasi sebagai ”the transfer of power , which could be one of goverment within a state, or offices
within a large organisation”. Point penting yang perlu digaris bawahi bahwa
Smith menekankan pada gagasan depolusi, yang lebih kental digunakan pada
pendekatan desentralisasi politik. Masyarakat belajar mengenal berbagai
persoalan sosial, politik dan ekonomi, lalu mengungkapkannya dalam bentuk
rumusan, melontarkannya dalam mosi ketidak percayaan dan dukungan pada setiap
kebijakan pemerintah, belajar tentang anggaran dan pendapatan, serta dapat
mencermati kondisi politik, kemapanan dan kemampuan para wakil politik. Sebagai
tujuan pendidikan politik selanjutnya adalah bagaimana desentralisasi sebagai
media untuk melatih dan pemagangan calon-calon pemimpin, yang dimulai dari
level daerah untuk menuju persiapan menjadi pemimpin level di atasnya provinsi
maupun tingkat nasional.
Selanjutnya selain desentralisasi politik, desentraliasi
dalam bidang administrasi juga tidak kalah pentingnya, yang harus dipahami
sebagai upaya peningkatan kemampuan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan
pelayanan publik secara efektif dan efisien. Pelibatan setiap komponen
masyarakat dalam pembuatan keputusan, akan selain sebagai upaya pendidikan
politik pada masyarakat, juga dapat meningkatkan kualitas keputusan dimana
hasil kebijakan merupakan hasil dari upaya bersama dari setiap komponen yang
terlibat. Keterlibatan publik, economic
development, revenue mobilization, innovation in public service delivery,
accountability of elected officials, capacity development at the local
government level, and grassroots participation in governance (Ichimura
& Bahl, edt, 2009:3). Namun
pertanyaannya adalah apakah mayoritas
dewan lokal
(DPRD) secara memadai berkomitmen untuk perencanaan positif dan
pengembangan manajemen proaktif, dan apakah otoritas perencanaan daerah
memiliki sumber daya, keterampilan dan kebijakan / pedoman kerangka kerja untuk
memberikan berkualitas tinggi, desain perkotaan yang berkelanjutan dan tempat
untuk membuat pemerintah pusat dapat
memenuhi segala keperluannya (Punter, 2010: 343).
Terkait dengan pelaksanaan desentralisasi, pemilihan
tingkatan partisipasi pada masyarakat menurut Muluk (2010: 25) dapat dijelaskan
sebagai berikut:
“pertama,
karena kebijakan desentralisasi urusan pemerintahan lebih diprioritaskan pada
daerah kabupaten atau kota sehingga lebih banyak urusan pemerintahan yang
ditangani oleh daerah otonom tersebut. Kedua,
karena daerah otonom yang terendah
adalah tingkat kabupaten dan kota sehingga pengaturan dan pengurusan berbagai
urusan pemerintahan lebih dekat lebih dekat dengan masyarakat”.
Lebih lanjut ada empat prinsip yang digunakan untuk
dijelaskan mengapa demokratisasi administrasi publik perlu dilakukan pada
tingkatan pemerintahan daerah; (1) the
scale principle menjelaskan bahwa terdapat beberapa fungsi yang lebih tepat
diatur dan diurus pada tingkatan pemerintah pusat dan terdapat beberapa fungsi
lain yang lebih tepat diatur dan diurus pada tingkatan pemerintahan daerah; (2)
the democracy pinciple menjelaskan
pada dasarnya proses pemerintahan seharusnya melibatkan masyarakat; (3) the accountability principle
menjelaskan bahwa pemerintahan pada dasarnya adalah milik masyarakat; dan (4) the rationality principle menjelaskan
bahwa proses partisipasi publik dalam pemerintahan daerah harus ditanggapi
secara rasional (Muluk, 2010: 36-37).
V. Kesimpulan
dan Rekomendasi
Pemerintah pusat menyerahkan kekuasaan kepada daerah,
agar pemerintah daerah mampu menyelenggarakan otonomi daerah, dengan
memanfaatkan secara maksimal seluruh potensi yang ada, baik sumberdaya ekonomi
dan sumberdaya manusia dalam mencapai peningkatan kualitas pembangunan dan
pelayanan publik di masyarakat. Pendidikan politik dan kemampuan administrasi dalam
rangka memahami dan melaksanakan desentralisasi politik dan desentralisasi
administrasi, harus selalu dapat ditingkatkan pada setiap komponen yang terlibat
dalam pelaksanaan pemerintahan daerah, maupun pejabat nasional yang melibatkan
diri dalam monetoring dan pengawasan pemerintahan daerah.
Belajar dari berbagai persoalan tentang pengelolaan
sumberdaya di daerah, dimana dapat terjadi konflik kepentingan antar daerah,
daerah dengan level daerah diatasnya, daerah dengan pengelola sumberdaya di
daerah. Maka pemerintah pusat bersama pemerintah daerah, perlu mengambil
langkah-langkah penyelesaian, baik secara hukum, maupun secara administratif
sehingga tidak meluas memasuki ranah kehidupan masyarakat secara keseluruhan,
baik politik, ekonomi maupun sosial. Pengaturan atau regulasi tentang
batas-batas kewenangan dan tanggungjawab antar daerah, dan daerah dengan pusat
perlu dilakukan dan diperjelas dalam rangka menghindari terjadinya disintegrasi
maupun konflik antar daerah.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas tentang
kerumitan pelaksanaan desentraliasi khususnya dalam pengelolaan sumberdaya di
daerah, maka disarankan pada pihak-pihak yang tertarik untuk mengadakan
penelitian dan survey lebih lanjut, sehingga mendapatkan refleksi secara
komprehensif tentang variasi dan diversifikasi model pelaksanaan desentralisasi
di seluruh wilayah Indonesia.
Daftar Pustaka
Anonym,
2000. Decentralization and Democratic
Local Governance. Centre For Democracy And Governance, Washington
Bali Post, 2002. “Wirata Sindhu juga Dimintai
Keterangan Terkait Dugaan Korupsi di DPRD Buleleng”. 25 Oktober 2002
Bali Post, 2012. Bupati Bagiada Siap
Hadapi Gugatan Mantan Kepala KBPP.25 Februari 2012
Bali Post, 2012. Siswa Satu
Sekolah Mogok Belajar. Sabtu, 7
Januari 2012, 09:09
Bali Post, 2012. Soal Pemecatan dan Isu KKN: Komisi C Panggil
Direksi PD Swatantra dan Bank Buleleng. 12 Maret 2012
Bali post. 2011. Banyak LPD
BermasalahKoordinasi PLPDK dan Pengawas Dinilai Lemah. 04 Juli 2011
Bali post. 2011. Sengketa
Tanah Negara Bupati Siapkan Gugatan Intervensi. 05 Agustus 2011.
Bali post. 2012. Dimutasi, Guru
Gugat Bupati ke PTUN. 13 Februari 2012
Denters,
Bas, 2011. “Local Governance”. In Bevir, Mark, 2011. Governance. Sage
Publication, California
Dollery, Brian E & Joe L Wallis,
2001. The Political Economy of Local
Government. Edward Elgar Publishing,
Massachusetts
Elcock, Howard, 2005. Local Government. Routledge, New York
Hadiz,
Vedi R, 2005. Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. LP3ES,
Jakarta
Hoessein, Bhenyamin, 2011. Perubahan Model, Pola, dan Bentuk
Pemerintahan Daerah: di Era Orde Baru ke Era Reformasi. Departemen Ilmu Administrasi
Fisip UI, Jakarta
Holtzappel,
Coen JG & Martin Ramstedt, 2009. Decentralization
and Regional Autonomy in Indonesia: Implementation and Challenges. ISEAS, Singapore
Ichimura, Shinichi
& Roy Bahl, 2009. Decentralization Policies In Asian Development. World Scientific Publishing,
Singpore
Kadi,
Saurif, 2008. Mengutamakan Rakyat. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Leach,
Steve, 1994. The Changing Organisation
and Management of Local Government. Dalam Khairul Muluk,Compilator. 1998. Local
Government. Takanori Kobiki.
Muluk,
Khairul, 2009. Peta Konsep Desentralisasi
dan Pemerintahan Daerah. ITS press, Surabaya
Muluk, Khairul. 2010.
Menggugat Partisipasi Publik dalam
Pemerintahan Daerah. FIA Unibraw, Malang
Norton, Alan, 1997. International Handbook of Local and Regional
Governament. Edward Elgar. Cheltenham
Parimartha,
I Gede, 2011. “Kasus Adat Marak Sejak Perda Pekraman” Denpasar, Kompas.Com. Kamis, 15 Desember 2011
Punter, Jhon, 2010. “Planning and good design: indivisible or invisible?: A century of
design regulation in English town and country planning”. In TPR, 81 (4) 2010 doi:10.3828/tpr.2010.14
Ratnasa,I
Gede Sukardan, 2010. “Investigasi raster
Kasus Lemukih Berawal dari ''Landreform''. Bali
Post. 29 Oktober 2010.
Rivai, Ardian Bakhtiar, 2010. Ajeg Bali: Konsep untuk Selamatkan Bali. OPINI | 29 July 2010 | http://regional.kompasiana.com/2010/07/29/ajeg-bali-konsep-untuk-selamatkan-bali/
Rudyanto, Arifin, 2004. “Kerangka Kerjasama Dalam
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut”. Dalam materi Sosialisasi
Nasional Program MFCDP, 22 September 2004
Saito,
Fumihiko, 2011. “Decentralization”. In In Bevir, Mark, 2011. Governance. Sage Publication, California
Smith, BC, 1985. Decentralization: The Theorial Dimension Of The State. George Allen & Unwin (Publisher), London
Steni, Bernadinus. 2004. Desentralisasi, Koordinasi Dan Partisipasi
Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Pasca Otonomi Daerah. http://www.huma.or.id
Sugiharto,
Bambang, 1996. Post Modernisme Tantangan
bagi Filsafat. Kanisius, Yogyakarta
Theceli,
2008. Kewenangan Pemerintah Pusat Dan
Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Lingkungan.
http://theceli.blogspot.com/2008/ 04/kewenangan-pemerintah-pusat-dan.html
Zhu,
Xufeng & Qiyuan Jiao , 20123 “New Public
Management” in China at the Local Level: Competition-Driven Local Public
Service Reform in Tianjin”. In Lex Localis - Journal
Of Local Self-Government Vol. 10, No. 2, 153 - 170, April
2012
Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
BalasHapusSITUS JUDI KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
dengan kemungkinan menang sangat besar.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
• AduQ
• BandarQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• FaceBook : @TaipanQQinfo
• WA :+62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
Come & Join Us!!
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny