Minggu, 10 Juli 2016

Konflik Pengelolaan Sumber Daya di Daerah

Oleh Gede Sandiasa


I.  Pendahuluan
     1.1. Latar Belakang         
Perubahan sistem politik dalam aras administrasi publik, melalui perubahan pendekatan dari sentralistik, menuju desentralisasi, adalah sebuah perubahan yang mendasar, menuju babak baru perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Pembuatan keputusan publik yang melibatkan lebih banyak aktor, lintas organisasi termasuk melibatkan pilihan publik masyarakat “Public choice” dalam rangka mendorong lebih besar lagi partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dalam peoses pembangunan. Upaya penguatan pemerintahan daerah dalam rangka menyusun dan mengatur daerahnya sendiri, melalui poses-proses pengambilan keputusan yang berakar pada kebutuhan masyarakat, dapat mempercepat dan meningkatkan kualitas publik di daerah. Sepadan dengan tulisan Norton yang menyebutkan “government to the frontier of society and its social and environmental problems and therefore best placed to identify local needs and to assess what action is needed”  (Norton, 1997: 15).
Percepatan kemajuan daerah, sangat dipengaruhi oleh kepemilikan sumberdaya di daerah, serta kemampuan sumberdaya manusia dalam mengelola sumberdaya bersangkutan, baik sumberdaya ekonomi maupun sumberdaya manusia di daerah. Menurut BC Smith daerah harus dapat mengenali sumber pendapatan dan anggaran, untuk mengurangi ketergantungannya kepada pusat, serta berpengaruh pada akuntabilitas dan responsibiltas pemerintah, secara lengkap dapat disimak pendapat berikut ini:
”what revenue source are the best; why there is a widespread, almost universal, growing dependency on higher level governments for the income of area governments; whether that dependency reduces the autonomy of area governments and undermines their accountability and responsiveness to their electorates and communities; what effect inflation has on local and regional spending; why some central governments resist the devolution on extensive revenue-raising power; and so on” (Smith, 1985: 99).
Pengelolaan sumberdaya  governance” pada definisi pemerintahan daerah menurut Stoker, Leach & Percy-Smith mengarah lebih kurang pada sistem polycentric, yang mana berbagai aktor terlibat di dalam “public decision making process”  (Denters, 2011: 313). Ada tiga elemen penjelasan terkait keterlibatan berbagai stakeholders tersebut, yaitu  pertama, polycentric mengarah pada konstalasi dimana tidak hanya aktor yang tunggal, tetapi banyak dari berbagai pemain otonom di daerah. Hubungan berbagai aktor dalam pemerintahan daerah tidak bersifat hirarki. Kedua, local governance bersifat tipikal terkait hubungan antara berbagai aktor yang hadir dari berbagai domain politik dan sosial ekonomi. Dan didalam pemerintahan, aktor-aktor mungkin diisi dari berbagai unsur pemerintahan (supra-government, nasional, regional dan daerah) atau mungkin fungsi-fungsi “quasi-governmental”. Ketiga, terdapat variasi mekanisme dalam proses pengambilan keputusan publik dari pemerintahan daerah, sebagai tambahan dalam mekanisme birokrasi dan politik tradisional  semacam hirarki dan mayoritas suara, keputusan juga dapat didasarkan pada kompetisi atau proses negosiasi (Pierre & Peters, Leach & Percy-Smith, Bens dalam Denters, 2011: 3013).
Desentralisasi dipahami sebagai berikut:
is a process of transferring power to popularly elected local governments. Transferring power means providing local governments with greater political authority (e.g., convene local elections or establish participatory processes), increased financial resources (e.g., through transfers or greater tax authority), and/or more administrative responsibilities” (anonym, 2000: 2)

Dari pemahaman di atas yang menyebutkan bahwa desentralisasi adalah proses menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah daerah yang terpilih. Dengan demikian memberikan pemerintah daerah dengan otoritas politik yang besar, dalam menyelenggarakan pemilihan umum, penentuan proses partisipasi, peningkatan sumberdaya keuangan dan mempertanggung jawabkan secara administrasi.



     1.2. Identifikasi Masalah
Dalam penelusuran dari berbagai persoalan yang dihadirkan oleh konskwensi pelaksanaan desentralisasi, dari ketidakmampuan sumberdaya di daerah serta kurang dipahaminya persoalan teori dan praktis dari desentralisasi, baik SDM pusat, provinsi maupun daerah menimbulkan sejumlah persoalan di pusat maupun daerah. Otonomi daerah melalui desentralisasi atau pelimpahan kekuasaan didaerah. Menurut Saurif Kadi, bahwa:
 “Otonomi daerah bukanlah model Negara bagian, tapi otonomi dalam kerangka Negara Kesatuan yang bercirikan adanya kesatuan hukum. Dengan otonomi daerah diharapkan seluruh fungsi pemerintahan dilaksanakan oleh daerah, kecuali fungsi pertahanan, keuangan dan politik luar negeri. Dengan otonomi diharapkan daerah akan mampu menghidupi diri sendiri (swakelola) termasuk pembiayaan pemerintahan” (Kadi, 2008: 105).

Desentralisasi juga menyangkut persoalan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah melalui prinsip enabling yakni, “strengthening the capacity for self-government within a local community, using whatever resources and channels (internal or external) seem most appropriate (emphasis added) (Leach, et all,1994: 235). Namun sejumlah persoalan muncul dalam pelaksanaan desentralisasi, Munculnya arogansi kekuasaan di daerah tidak akan bisa dihindari, praktik KKN ditingkat kabupaten bahkan sampai tingkat pedesaan otomatis akan tumbuh subur (Kadi, 2008: 105). Selanjutnya menurut Bhenyamin Hoessein bahwa:
Metamorfose dari local autonomy menjadi quasi sovereignty  dan  local government menjadi Negara kota (polis), dapat dikenali melalui sejumlah indikator. Pertama, terdapat anggapan di kalangan elit lokal mengenai hubungan antara sentralisasi dan desentralisasi yang bersifat dikhotomi dan tidak bersifat kontinum.  Kedua, terdapatnya anggapan mengenai wewenang daerah otonom yang utuh dan sepenuhnya (eksklusif) dalam berbagai urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang secara exsplisit menjadi kompetensi pemerintah. Ketiga, terdapatnya tuntutan oleh elit formal lokal terhadap semua asset pemerintah yang berada di wilayah daerah otonom. Keempat. Pengingkaran terhadap segala bentuk kendali dan kontrol pemerintah yang diatur dalam kerangka hukum. Kelima,  penampilan berbagai keputusan menteri, sebagai kebijakan yang harus dipatuhi” (Hoessein, 2011:144)

Dari sejumlah pemahaman di atas penulis mencoba mengkritisi persoalan pengelolaan sumberdaya di daerah, baik sumberdaya ekonomi maupun sumberdaya di daerah, yang menghadirkan sejumlah persoalan dari ketidakjelasan wilayah kewenangan (secara fisik maupun administrasi) yang menimbulkan konflik pengelolaan sumberdaya, tumpang tindih pelayanan dan penyelesaian persoalan masyarakat antar daerah provinsi dan kabupaten. Kesulitan membedakan tugas pemerintahan dan kepentingan pribadi yang banyak berbuntut pada mutasi jabatan penting di daerah, penempatan staf yang tidak mengacu pada profesionalisme dan asas kebutuhan. Untuk ini penulis selanjutnya akan membahas sejumlah persoalan antara lain: konflik kewenangan antar daerah provinsi dan kabupaten, konflik tanggungjawab antara provinsi dan kabupaten; konflik antar pemerintah daerah kabupaten dan pelaksana pengelola sumberdaya  di daerah; peluang dan tantangan desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya; dan pengelolaan sumberdaya menurut Undang-Undang serta partisipasi publik dalam pengelolaan sumberdaya.

     1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan      
Pengkritisasi berbagai persoalan yang ditimbulkan dari praktik yang tidak sedap dalam desentralisasi, menjadi sejumlah pembahasan yang menarik, dari berbagai pakar ilmu sosial dan administrasi publik. Kepentingan untum memberikan gambaran yang luas tentang teori dan penerapan desentralisasi khususnya, di wilayah provinsi Bali guna menambah jumlah pengetahuan tentang disparitas dan berbagai kesulitan dalam melaksanakan desentralisasi, diberbagai daerah Indonesia. Bagi pemerintah daerah Bali dan Kabupaten Buleleng, tulisan ini dapat dijadikan rujukan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan masyarakat berbasis partisipasi melalui peluang besar yang dihadirkan melalui desentralisasi dan otonomi daerah.
         
II. Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Lokal                   
2.1. Konflik Kewenangan antar Daerah Provinsi dan Kabupaten                 
“Investor Dasong Di Hadang” demikian salah satu head line dari harian umum Nusa Bali Sabtu, 12 Mei 2012. Di dalamnya menyebutkan bahwa Gubernur Bali meminta menteri kehutanan mencabut ijin prinsip pemanfaatan lahan 20 hektar yang diberikan kepada PT NBA (Nusa Bali Abadi) tahun 2007. Investor asing ini hadir atas prakarsa pemerintah Kabupaten Buleleng, di mana wilayah  Dasong (danau Buyan) adalah bagian dari wilayah Kabupaten Buleleng bagian selatan. Dalam dekade sebelumnya Pemerintah Buleleng juga pernah mengeluarkan ijin prinsip pengelolaan wilayah Danau Buyan sebagai “wisata ekologis dan budaya” seluas 900 kektar kepada PT Anantara, yang telah mendapat penolakan baik dari Gubernur Bali Dewa Bertha maupun Made Mangku Pastika (Bali Post, 23 Jan 2009), padahal Bupati Buleleng dengan susah payah berusaha menghadirkan para investor bersangkutan di Buleleng.
Persoalan ini berbuntut panjang pada proses pembangunan yang melibatkan Bantuan Gubernur pada masyarakat Buleleng, dari sumber yang dapat dipercaya menjelaskan bahwa bantuan yang melibatkan tanda tangan Bupati untuk masyarakat Buleleng, sering kandas dan tidak berlanjut. Sehingga nyaris bantuan gubernur kepada masyarakat Buleleng terhambat, padahal harapan masyarakat Buleleng kepada Gubernur Bali Made Mangku Pastika sangat besar, karena beliau berasal dari Kabupaten Buleleng, sehingga kesan di Masyarakat Buleleng Gubernur tidak bisa diharapkan untuk masyarakat Buleleng. Beruntung ada kebijakan yang secara langsung dapat dilakukan dengan menggunakan kewenangan Gubernur Bali, seperti bantuan pada Desa Pakraman, Subak dan Jaminan Kesehatan Bali Mandiri yang langsung dengan kewenangan Gubernur dapat secara langsung diterima masyarakat.
Penolakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dari Perda  No. 16/2009 tentang RTRW Bali, juga kerapkali dihubungkan dengan persoalan ketidakharmonisan hubungan antara Bupati Buleleng dengan Gubernur Bali. Disamping itu otonomi daerah juga menghasilkan penolakan Gubernur terhadap pengajuan mutasi pejabat daerah pada akhir-akhir ini, yang disinyalir tidak melalui mekanisme dan kental dengan persoalan politik, baik menjelang maupun pasca Pilkada Buleleng tahun 2012.
Selanjutnya gugat menggugat potensi wilayah, seperti sengketa tanah negara di Kawasan Sendang Pasir Desa Pemuteran Kecamatan Grokgak Kabupaten Buleleng yang dilakukan oleh Bupati di Pengadilan Negeri Singaraja. Yang mana sebelumnya Gubernur Bali juga telah melakukan gugatan terhadap obyek yang sama. Dalam kasus ini Bupati Buleleng, Putu Bagiada disebut-sebut sedang menyiapkan gugatan intervensi atas proses hukum gugatan Gubernur Bali. Hal ini memicu kekhawatiran sejumlah warga desa dari Dusun Sendang Pasir Pemuteran, yang akhirnya berupaya untuk menemui Bupati. Seluruh gugatan ini ditujukan kepada PT Margarana, sedangkan PT Margerana sebagai pihak tergugat menawarkan solusi dengan memberikan bagian kepada Gubernur 5 % dari total lahan atau sekitar 12 ha (baca Bali post, 5 Agustus 2011). Dengan demikian apabila terjadi keputusan, maka pihak kabupaten Buleleng tidak dilibatkan, apakah akan mendapat bagian dari keputusan itu?, hal ini menyebabkan munculnya gugatan intervensi dari Bupati Buleleng sebelum pengadilan Negeri Singaraja mengambil keputusan. Pada pada jaman sentralisasi telah terjadi konflik horisontal antara pihak kapitalis (perusahaan perkebunan) dengan penduduk atau pekerja kawasan Sendang Pasir.
Pada awalnya pengelolaan tanah di kawasan Sendang Pasir dilakukan oleh orang Belanda pada tahun 1917 dengan mendatangkan pekerja dari Jawa dan Madura, pada tahun 1935 tanah yang semula dikuasai oleh Belanda dialihkan pada pengusaha Tiong Hoa, Tahun 1955 dialihkan pada YKP ( Yayasan kebaktian pejuang) disini pun warga dapat mengelola dan menggarap lahan perkebunan Sendang Pasir dengan aman tentram rukun damai dan dapat mencukupi kebutuhan kehidupannya hingga tahun 1970. Permasalahan muncul kurang lebih tahun 1970 yakni ketika hadirnya PT Margarana yang ditunjuk sebagai pengelola lahan perkebunan rakyat oleh YKP di Dusun Sendang Pasir dengan membawa penggarap baru yang dibawa dari wilayah Bali Timur (Kabupaten Karang Asem), Mulailah aksi-aksi ancaman, teror dan tekanan-tekanan lainnya untuk mengusir warga Sendang Pasir (Tahun 1983) yang dulu merabas hutan dan semak belukar dengan tetes keringat bahkan dengan mempertaruhkan nyawa sekalipun, untuk dijadikan lahan yang produktif dan ekonomis yang dapat menunjang penghidupan warga (Taufik Hidayat, 2001:5 dalam Rivai, 2010). Lalu apakah kemudian di era desentralisasi saat ini akan menjadikan komplik kepentingan yang lebih besar antara wilayah Kabupaten dengan Wilayah Provinsi, ini menjadikan pekerjaan rumah bagi kearifan pada pemimpin daerah, yang semestinya mengacu pada kemaslaatann bersama demi kesejahteraan masyarakat Bali, dan Buleleng pada khususnya.

    2.2. Konflik Tanggungjawab antar Provinsi dan Kabupaten
Penyelenggaraan wewenang dan tanggungjawab di daerah, yang mana yang menjadi otoritas provinsi dan kabupaten/kota, sering tidak memiliki ketentuan baku, dan dalam batas-batas yang samar-samar. Sedangkan Smith (1985: 8-12) mengungkapkan bahwa:
“desentralisasi mencakup beberapa elemen, yakni : pertama, desentralisasi memerlukan pembatasan area, yang bisa didasarkan pada tiga hal yaitu pola spasial kehidupan sosial dan ekonomi, rasa identitas politik, dan efisiensi pelayanan publik yang bisa dilaksanakan. Kedua, desentralisasi meliputi pola pendelegasian wewenang, baik itu kewenangan politik maupun kewenangan birokratis” (dalam Muluk, 2009: 55).

Pejabat daerah provinsi dan kabupaten sering memasuki wilayah terlarang, atau bebas bagi kedua belah pihak, baik dari sisi kewenangan administratif maupun kewenangan wilayah atau batas-batas fisik, yang senyatanya beberapa pejabat tingkat II menyebutkan bahwa pemda provinsi secara fisik tidak diakui memiliki wilayah. Akan tetapi dalam batas-batas tertentu Gurbenur dapat memiliki kewenangan yang luas seperti pengaturan tentang Desa Pakraman, Subak dan Lembaga Perkreditan Desa di Bali, serta pelaksanaan pelayanan kesehatan JKBM (Jaminan Kesehatan Bali Mandara), disebutkan bahwa penduduk yang berKTP bali bila yang tidak terkaper dalam askes dan jaminan kesehatan lainnya, maka wajib mendapatkan pelayanan JKBM di seluruh wilayah Bali.
Persoalan yang muncul kemudian terjadi tumpang tindih pelayanan terhadap masyarakat dan pemberian insentif pada institusi yang bersifat sukarela. Semisal penyelenggaraan dan pelestarian Desa Pakraman serta subak, baik melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman dan Lembaga adat, yang kemudian peraturan daerah provinsi berkaitan dengan lembaga adat, dibarengi dengan kewenangan pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan dan bantuan kepada lembaga adat. Ketidak mengertian para pengurus lembaga adat seperti Desa Pakraman sebagai lembaga sukarela berkonsep ngayah (pengabdian) menuntut hak lebih kepada Gubernur (seperti insentif pengurus) supaya memenuhi standar UMR, padahal sejak keberadaan Desa Pakraman yang dulunya bernama “desa adat” tidak mendapat insentif ataupun gaji, semua di dasarkan pada asas sukarela. Kondisi ini memicu komplik dan tuntutan terhadap kebijakan gubernur berawal dari pertemuan simakrama di Gedung Kesenian Gede Manik Singaraja, 25 Pebruari 2012 (baca Metro Bali, 9 Mei 2012). Padahal disisi lain melalui Peraturan Bupati, seperti Perbup Buleleng nomor 40 tahun 2009, tentang besarnya tunjangan penghasilan Kelian Desa Adat/Pakraman dan Kelian Subak Kabupaten Buleleng; Keputusan Bupati Buleleng Nomor 142/219/HK/2011, tentang Penetapan Pemberian Bantuan Kepada Desa Pakraman, Pemberian Tunjangan Penghasilan (insentif) kepada Kelian Desa Pakraman, Kelian Subak  dan Kelian Subak Abian se-Kabupaten Buleleng, keinginan lembaga adat untuk mendapatkan insentif telah terkaper.
Dengan otonomi daerah, dimana daerah bisa mengatur daerahnya termasuk anggaran dan pendapatan daerah, memiliki konsekuensi politik dan sosial yang penting bagi masyarakat lokal dan otoritas daerah (Elcock,2005: 127). Setiap daerah kabupaten akan menyelenggarakan pemerintahan secara berbeda dan penyelenggaraan keuangan yang berbeda sesuai dengan potensi dan sumber keuangan masing-masing daerah, contoh pemberian insentif bagi lembaga adat Subak dan Desa Pakraman, secara berbeda menjadikan polemik bagi setiap daerah yang ada di Bali. Bagi daerah yang makmur seperti Badung dan Denpasar tentu akan mampu memenuhi kebutuhan secara layak bagi lembaga bersangkutan, sedangkan bagi wilayah Karang Asem dan Buleleng jauh dari tuntutan masyarakat. Disisi lain dimensi ngayah akan kehilangan makna, wujud partisipasi masyarakat dalam melestarikan budaya leluhur menjadi menurun, semua beorientasi pada profit dan insentif yang diperoleh.
Otonomi daerah juga memunculkan konflik baru dalam persoalan pengelolaan aset di daerah, baik dalam lingkup terbatas seperti antar daerah, dan provinsi maupun antar desa, maupun Desa Pakraman. Menurut Gede Parimartha bahwa, “Peraturan Daerah (Perda) Desa Pekraman Nomor 3 tahun 2001. Perda itu memberikan bobot yang tinggi atau otonomi desa adat (desa pekraman) yang berlebihan, namun tidak mampu membangun kedamaian bagi seluruh warganya” (Kompas.Com, 15 Des 2011). Sejumlah persoalan yang muncul dari arogansi pemaknaan otonomi, sampai pada tingkat desa bahkan desa adat, sejumlah persoalan pengelolaan asset dan potensi tidak jarang menghadirkan konflik horizontal, seperti perebutan areal parkir, pemungutan retribusi oleh desa pakraman melalui pecalang (Sistem pengamanan Desa Pakraman) pada sona umum, seperti Pura Tanah Lot di Tabanan, pantai-pantai yang dulunya sebagai akses umum sekarang telah dipajaki seperti pantai Segara Penimbangan dan eks Pelabuhan Buleleng. Pemungutan biaya keamanan pada penduduk pendatang oleh pecalang yang mahal dan arogan, konflik pengelolaan sumberdaya antar Desa Pakraman, maupun dengan desa dinas, di mana kadang wilayah desa dinas berimpitan dengan desa adat, dan juga bisa berbeda (lebih luas atau lebih sempit). Berbagai persoalan inilah dalam kerangka otonomi daerah perlu diadakan pengaturan kembali agar tidak merugikan masyarakat secara umum.
Peraturan Daerah Propinsi Bali nomor. 8 tahun 2002 dan peraturan lainnya tentang Lembaga Perkreditan Desa, sebagai peluang dan pendorong munculnya akses prekonomian di tingkat desa, mendorong investasi dan perputaran pembangunan di tingkat desa, khususnya di Desa Pakraman. Dengan demikian selain memiliki pelaba pura (asset berupa tanah, tempat ibadah dan kelengkapannya), dalam mengelola keuangan Desa Pakraman dari asset desa yang jumlahnya dari ratusan ribu sampai milyaran, terjadi perubahan struktur dan sistem penataan keuangan desa menjadi asset produktif dan dapat menciptakan lapangan kerja di tingkat desa. Selain dampak secara positif, dampak negatif juga tidak bisa dihindarkan. Kemampuan pengelolaan sumber keuangan di desa sangat bervariasi, dan sebagian besar pengurus LPD masih lemah dalam sistem pengelolaan keuangan desa. Kondisi demikian menghadirkan penyelenggaraan dana desa, korupsi dan salah urus. Disamping itu juga menjadi konflik kecemburuan sosial antar penguasa dan tokoh di desa, seperti dialami oleh LPD Sangalangit dan Sudaji di Buleleng (baca Bali Post, 29 Jan 2010 & 14 Juni 2011). Para prajuru itu menduga, di Buleleng masih banyak terdapat LPD bermasalah namun masih bisa ditutupi oleh pengurusnya. Terbukti, dari hasil pengumuman Bagian Ekbang Setda Buleleng belum lama ini, terdapat 19 LPD sakit dari sekitar 146 LPD yang ada di Buleleng. Pada saat diumumkan itu, LPD Banyualit tidak termasuk dalam daftar LPD yang bermasalah. Permasalahan LPD Banyu Alit itu muncul justru ketika warga tak bisa mencairkan tabungan (Bali Post, 14 Juli 2011).
Berbagai persoalan pelayanan pada masyarakat, pemberian bantuan sosial pada masyarakat, sering tumpang tindih dan tidak merata. Terlebih dengan penerapan sona distrik dan daerah pemilihan, bagi desa atau masyarakat sebagai konstituen dari pejabat daerah apakah Bupati maupun DPRD, bantuan sosial dan bantuan pembangunan sarana fisik dan non fisik terus mengalir baik dari provinsi, kabupaten, bansos DPRD, hingga sampai gang-gang kecil mendapat bantuan pembangunan. Sedangkan daerah yang tidak memiliki perwakilan di pejabat daerah, meskipun berada di pusat kota, bansos dan bantuan pembangunan jarang ada, bahkan ada yang tidak mendapat bantuan sama sekali. Hal ini kiranya sesuai dengan pendapat Sugiharto (1996: 29-30) yang menyebutkan bahwa modernisme mengabdikan dirinya hingga abad kedua puluh ini melalui dominasi sains dan kapitalisme, yang menghadirkan tatanan sosial dengan menghadirkan konskwensi buruk bagi kehidupan manusia, dimana salah satunya menghasilkan dampak kembalinya tribalisme. Tribalisme disini dimaksudkan sebagai mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri, termasuk daerah konstituen. Hal ini merupakan sebuah konskuensi logis dari hukum survival of the fittest dan penggunaan kekuasaan koersif. Dengan keadaan demikian maka otonomi daerah akan menghasilkan tidak keseimbangan, ketimpangan dalam pembangunan dan perjuangan dari kelompok-kelompok untuk mencetak dan mendudukkan wakilnya di daerah dengan cara apapun juga.

    2.3. Konflik antar Pemerintah daerah Kabupaten dengan Pelaksana
           Pengelolaan sumber daya di daerah
Persoalan politik sering berpengaruh pada sistem pengelolaan sumberdaya di daerah, seperti pemecatan Direktur PT Pasar pada perusahaan milik daerah, dikabupaten Buleleng yang nota bene bukan karena profesionalismenya, atau terjadi penyimpangan dalam hal pengelolaan perusahaan, akan tetapi pada persoalan politik, di mana direktur dan beberapa jajarannya tidak mendukung pencalonan putra mahkota dalam Pilkada 2012. Hal ini berbuntut pada gugatan pada pengadilan Tata Usaha Negara terhadap Bupati Buleleng oleh Direktur PT Pasar (baca Bali Post, 13 Peb 2012), selain itu dalam kerangka otonomi ini, dipahami sebagai quasi soverign dan local government menjadi negara kota (Hoessein, 2011: 144).
Dengan demikian kekuasaan pemerintah sangat luas dan berkuasa,  seperti dibeberapa kasus di Buleleng pengangkatan dan pemecatan orang-orang penting di dalam perusahaan daerah, dan pejabat daerah adalah berdasarkan kerabatan dan hubungan politik seperti Para kadis, para camat,  direktur Bank Buleleng, Direktur PDAM.  Direktur Perusahaan Daerah Sawatantra Nengah Gelgel yang dulunya memiliki hubungan politik dengan Bupati berkuasa, namun saat ini disinyalir melakukan pembelotan pada calon bupati yang menang dalam Pilkada Apil 2012, diberhentikan tanpa sepengetahuan dewan padahal dari sisi aturan menyatakan “Bupati berwewenang untuk memberhentikan dan melantik direksi atas pertimbangan badan pengawas dan mendapat persetujuan lembaga dewan” (Bali Post, 12 Maret 2012).  
Babak ini berlanjut sampai pada mutasi pejabat dan pemindahan pegawai disinyalir sangat kental pimpinan daerah menggunakan kekuasaannya sebagai raja kecil di daerah, pemberhentian mantan Kepala Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (KBPP), Drs. Gede Komang M.Si, yang kini telah mengajukan gugatan melalui PTUN  (Bali Post,  25 Peb 2012), selanjutnya dimutasinya Kepala SMPN 5 Busungbiu, I Nengah Konten, ke ke SMPN 1 Busungbiu. Apalagi, Nengah Konten bukan sekadar dipindah tugaskan, namun justru didegradasi menjadi guru biasa di SMPN 1 Busungbiu, yang berbuntut pada kegiatan mogok sekolah oleh civitas dan siswa SMPN 5 Busung Biu, dan beberapa mutasi guru dan pejabat publik yang terjadi di Buleleng kurun waktu menjelang pilkada, menunjukkan demikian besarnya kekuasaan pimpinan daerah dalam memaknai dan mengimplementasi ketentuan tentang desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam keadaan demikian pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah perlu ditata ulang, untuk membentuk kembali lebih rasional alokasi fungsi publik dan tanggung jawab ke tingkat pemerintahan yang berbeda dan jenis organisasi (Dollery & Wallis, 2001:165).
                     
III. Desentralisasi menjadi Peluang dan Tantangan dalam Pengelolaan
     Sumberdaya secara Mandiri di Daaerah
Menurut Fumihiko Saito (Saito, 2011: 487), terdapat beberapa pendapat dalam penyelenggaraan desentralisasi terutama bagi ilmuan pendukung desentralisasi antara lain. Pertama, local revenue raising” dengan desentralisasi dapat melaksanakan perbaikan pelayanan pada “grassroot”, sehingga kualitas layanan akan terjadi timbal balik, berupa “share the cost of service”. Kedua, partisipasi dalam pembuatan kebijakan daerah, juga merupakan hal yang penting. Proses partisipasi adalah hal yang signifikan dalam meningkatkan suara “voice their concern in affair” yang sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka. Ketiga, dapat mengurangi korupsi dan penyalahgunaan keuangan melalui perwakilan politik dan para administrator.  Jika pemilihan dilakukan melalui mandat populer, maka interelasi antara pemilih dan yang dipilih menjadi intensif, populasi akan memberikan kontribusi dalam menciptakan hubungan kepercayaan dan akuntabilitas antara “leaders and followers”. Keempat, penguatan melalui dimensi kompetisi dimana pemerintahan daerah diselenggarakan, dengan pemerintah pusat atau antar pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya yang ada.  Menurut Xufeng Zhu & Qiyuan Jiao governments more effective and efficient in providing public services, which can result in local governments attracting more investments and enhancing competitiveness” (Zhu & Jiao, 2012: 153). Pendapat yang sepadan juga disampaikan oleh Coen JG Holtzappel & Martin Ramstedt sebagai berikut:
“competition of many local governments for mobile resources such as investment capital and human resources increase pressure on local government to perform innovation in service delivery from the individual  local government. That decentralization would lead to better governance quality and less corruption following decentralization” (Holtzappel & Ramsteds, 2009: 101).

Selain nilai positif di atas, menurut Saito kalangan pengkritisi desentralisasi menyebutkan terdapat kelemahan desentralisasi antara lain. Pertama, economic efficiency, dalam kenyataan mentransfer kewenangan ke daerah tidak begitu mudah, untuk memahami kebutuhan daerah dan memfasilitasi interaksi dengan “grassroot” dan berbagai urusan-urusan daerah perlu melakukan koordinasi-koordinasi dengan pemerintahan pusat, yang melibatkan sejumlah biaya. Semisal kalau di berikan contoh di Indonesia, dalam mengajukan anggaran DAK dan DAU perlu melakukan berbagai proses koordinasi, baik dengan pemerintah pusat, yang tidak hanya cukup melalui sistem perwakilan, baik melalui DPD, maupun DPR perwakilan partai, tetapi kadang pemerintah daerah langsung datang kepada pemerintah pusat, belum lagi koordinasi dengan DPRD, penggalian dan penyerapan aspirasi masyarakat dan lain-lain. Dari proses pilkada saja sudah dirasakan oleh beberapa kalangan merupakan pemborosan yang luar biasa dalam sistem pemilu langsung di daerah saat ini. Kelemahan desentralisasi selanjutnya “closeness between local government and people”  dalam pelaksanaan otonomi pemerintah daerah cenderung menyalahgunakan kekuasaan lokal. Peluang yang dihadirkan melalui otonomi daerah sering disalahgunakan oleh pemimpin-pemimpin di daerah. Alasan desentralisasi yang dikemukakan kelompok pendukung desentralisasi untuk pencapaian efisiensi dan efektifitas, tidak tercapai. Peningkatan sumberdaya “revenue enhancement” yang terjadi malah sebaliknya “limitation on resources” tidak mampu meningkatkan kualitas layanan. Seperti kasus di Kabupaten Buleleng PAD yang di miliki pemerintah daerah untuk tahun 2011 mencapai kurang lebih 70 milyar, akan tetapi anggaran yang dilibatkan di daerah mencapai 670 milyar. Dalam keadaan demikian pemerintah daerah justru menggantungkan diri pada pemerintah pusat dan provinsi Bali.
Kelemahan berikutnya adalah “the merits of participation”;  rekrutmen pegawai dan pejabat daerah menjadi perhatian penting. Pemerintah daerah sering tidak melibatkan proses partisipasi dalam rangka rekrutmen, lebih menekankan pada kemauan pemimpin “elit capture” dalam menentukan dan merekrut pegawai maupun pejabat di daerah. Dalam hal ini sering melibatkan proses yang inklusif dalam pada setiap waktu dan penggunaan energi diatur, tanpa memperhatikan skill dan kompetensi yang tersedia serta kebutuhan daerah. Menjelang pilkada dan pasca Pilkada 2012 di Buleleng, terjadi berbagai mutasi pegawai dan jabatan, dari tenaga pendidik, pamong praja, camat, kepala kantor dan dinas yang lebih menekankan pada proses politik daripada pertimbangan kebutuhan. Selanjutnya “the democratic effect stressed by decentralists receive critism”; pendukung desentralisasi menyebutkan akan terjadi pengurangan korupsi, lebih transfaran dan akuntabel. Tetapi perlu disadari lokalitas tidak homogen, komuniti lokal bermain dengan disparitas dalam power, maka elit lokal akan bermain sesuai dengan peluang yang ada. Sepadan dengan pendapat ini Vedi R Hadiz menyampaikan
Desentralisasi kekuasaan juga tercermin dalam bangkitnya elite-elite daerah. Ini tergambar dalam undang-undang baru tentang pemerintahan daerah, yang secara signifikan memperkuat kekuasaan aparat pemerintahan lokal. Dengan demikian, kepentingan-kepentingan oligarkis lokal yang berkembang di dalam sistem patronase orde baru bisa jadi akan muncul sebagai suatu kekuatan yang lebih menonjol di dalam persaingan memperebutkan kontrol terhadap negara dan lembaga-lembaganya di tingkat local (Hadiz, 2000: 160).

Kasus yang menggelitik, terjadinya korupsi masal dari beberapa DPRD di tingkat daerah, termasuk beberapa pejabat ekskutif  di daerah. Dalam masa penerapan UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, DPRD Buleleng tersangkut korupsi massal Dana APBD tahun 2001 (Bali Post, 25 Okt, 2002). Selanjutnya berita 32 tokoh menjadi tersangka Korupsi masal dana tunjangan DPRD di Kabupaten Gunung kidul, tahun anggaran 2003-2004 merugikan Negara 2,8 milyar (baca, Info Korupsi.com, 5 Agustus 2011), sebanyak 32 anggota Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) yang terlibat dalam kasus korupsi APBD Gate Tahun 2002, memenuhi panggilan Kejaksaan Negeri Bogor (baca Forum Kompas, 12-2-2010). Dengan demikian di era desentralisasi dan otonomi daerah ke depan akan makin banyak pejabat daerah yang tersangkut persoalan hukum, apabila kemampuan sumberdaya di daerah tidak memadai. Ditambah lagi menurut Saito pengawasan pemerintah pusat semakin terbatas dalam hal anggaran dan keuangan daerah. Oleh karena itu pengawasan berikutnya adalah menjadi tantangan bagi Dewan Perwakilan Daerah dan berbagai komponen masyarakat di daerah.
“Inter-jurisdictional competition”; tak ubahnya seperti pasar, mendorong pemerintahan yang lebih efisien dan responsif, kondisi ini sering tidak nampak dalam kenyataannya, menjadi perhatian kaum pengkritisi masalah desentralisasi. Dalam kompetesi sering dicapai, orang dapat bebas bergerak dari satu tempat ke tempat lain, untuk mencari dan matching pilihan mereka dan layanan yang diberikan pemerintahan daerah. Akan tetapi pelayanan sering imposibel bagi masyarakat yang ingin memperoleh pelayanan, dengan kondisi minimal (tanpa public transport, public service dan public health) yang memadai dan tersedia dekat masyarakat. Dan kelemahan yang terakhir menurut Saito adalah mengarah pada “ethnic harmonization and national unity”, granting regional autonomy to subnational government simply shift ethnic tensions from national to local levels”, wacana Bali Merdeka, Papua Merdeka menjadi persoalan nasional dalam persoalan etnik, daerahisme dalam memperjuangkan haknya ditingkat nasional akan berubah pada skup yang lebih kecil, daerah kabupaten, kecamatan dan mencapai tingkat perjuangan ornamen-ornamen yang berbau kearifan lokal, seperti adat istiadat, pengakuan hukum waris adat dan hak hulayat menjadi pertarungan sengit dan dapat menimbulkan komplik horizontal, seperti masalah tanah adat di Desa Lemukih, Kabupaten Buleleng dan Tanah Sendang Pasir di Kecamatan Grokgak Kabupaten Buleleng.
Dengan demikian apabila ketidakcukupan kemampuan sumberdaya daerah, maka desentralisasi menjadi bom atom bagi pemerintah nasional, tidak hanya dapat berpengaruh pada stabilitas makro ekonomi, terkait kebijakan moneter dan fiscal, tetapi juga berdampak negatif pada persatuan dan kesatuan bangsa, akibat terjadinya perebutan dan kompetisi memperoleh akses sumberdaya baik nasional, regional maupun di tingkat daerah.

IV.Pengelolaan Sumberdaya Lokal Menurut Undang-Undang 
     4.1. Sumberdaya lokal menurut UU No. 5 tahun  1974           
Kendali pusat melalui undang-undang No. 5 tahun 1974, berlaku terhadap pengelolaan sumber daya alam. Menurut Bernadinus Steni, sebagai pulau yang kaya dengan sumberdaya alam, semestinya masyarakat Orang Papua di pulau Irian Jaya dan Orang Dayak di Kalimantan secara de facto maupun de jure berhak penuh atas penguasaan dan pengelolaan atas sumberdaya alam. Namun, UU No. 5 Tahun 1974 justru mengingkari hak-hak penguasaan masyarakat (tenurial rights) lokal atas sumberdaya alam. Sebaliknya, negara mendaulat 70% kawasan daratan menjadi kawasan hutan negara. Akibatnya, dalam soal pemberian izin pengusahaan sumberdaya alam, masyarakat setempat benar-benar hanya sebagai penonton. Oleh UU No. 5/1974, otonomi daerah lebih dilihat sebagai kewajiban ketimbang hak. Otonomi daerah adalah kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Otonomi daerah dengan demikian bukan otonomi rakyat tetapi otonomi Negara yang diwakili oleh pusat. Undang-undang ini secara sistematis didukung oleh berbagai peraturan organik yang mengkondisikan daerah sebagai penyedia tanah, pekarangan, kebun maupun rumah tinggalnya pemerintah pusat. Misalnya, Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum serta Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan  Keppres No. 55 tahun 1993. Kedua peraturan tersebut menyatakan bahwa jika dalam pembebasan tanah tidak tercapai kesepakatan antara pejabat negara dengan pemilik tanah maka demi kepentingan umum tanah tersebut harus tetap diambil alih Negara (Steni, 2004: 1)
Demikian juga beberapa kasus yang terjadi dalam kurun waktu orde baru, dimana dalam pengurusan soal agraria seperti pensertifikatan tanah, sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah pusat, melalui Badan Pertanahan Nasional yang ada di daerah. Maka tak pelak terjadi banyak persoalan tentang sengketa pertanahan yang diwariskan oleh pemerintah orde baru melalui penerapan UU no. 5 1974. Seperti di Bali tidak kalah pentingnya, seperti kasus tanah Lemukih terungkap dalam dialog interaktif Radio Guntur 31 Desember 2010, diawali dengan upaya pensertifikatan tanah ulayat (desa adat) pada tahun 1972-1974, lalu menjadi persoalan yang serius mulai tahun 2003 dan pada tanggal 22 Oktober 2010 terjadi pembakaran 14 rumah pemilik sertifikat (Kompas, 2010). Kasus tanah Lemukih berawal dari sengketa tanah adat Lemukih 93 hektar. Dengan adanya aturan landreform kepemilikan tanah dibatasi. Termasuk tanah Desa Lemukih dibatasi maksimal 30 hektar. Sisanya 66 hektar dimohon oleh penggarap tanah sehingga keluar sertifikat hak milik (Ratnasa, 2010).
Kesimpulan menurut UU No. 5 1974 tentang pengelolaan sumber daya menurut Steni (2004: 18) menyebutkan bahwa, (1)  UU Pemerintahan Daerah belum menyerahkan kewenangan pengelolaan SDA ke daerah. Desentralisasi yang ada lebih pada otonomi sistem pemerintahan secara politik dan bukan otonomi pengaturan SDA berdasarkan kebutuhan rakyat di daerah; dan (2)  desentralisasi dalam pengelolaan SDA lebih bersifat teknis daripada substantif. Ketentuan hukum yang ada lebih banyak menjabarkan implementasi metode pengelolaan sumberdaya alam di daerah dan bukan pengaturan oleh daerah sendiri atau belum secara serius menguatkan konsep otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri. Singkatnya, daerah adalah “piring petri” atau kelinci percobaan dari laboratorium pusat.

     4.2. Sumberdaya lokal menurut UU No. 22 tahun 1999                      
Menurut pasal 10 ayat (1) daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Kewenangan daerah di wilayah laut, sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, meliputi : a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; b. pengaturan kepentingan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan e. bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.  (3) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi. (4) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan dalam Pasal 11 (1) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan yang diatur dalam Pasal 9. (2) Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
Dengan demikian pengelolaan sumberdaya menurut UU nomor 22 tahun 1999, bahwa pemerintah daerah dapat mengelola sumberdaya nasional yang berada di wilayahnya dan bertanggungawab untuk memelihara kelestarian sumberdaya bersangkutan menurut Undang-undang. kewenangan pemerintah daerah sangatlah besar, selain menerima pengelolaan sumberdaya nasional, pemerintah propinsi juga dapat menentukan batas-batas wilayah kewenangan, yang bisa merambah pada batas wilayah kabupaten. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan dalam rangka mengelola wilayah antara kabupaten dan provinsi. Hal ini didukung oleh pendapat yang menyatakan bahwa Kewenangan pemerintah Daerah menurut UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sangatlah besar. Pemerintahan Daerah diberikan kekuasaan yang sangat besar dalam mengelola daerahnya terutama sekali Pemerintahan Kota atau Kabupaten (Theceli, 2008).


     4.3. Sumberdaya lokal menurut UU No. 32 tahun 2004                      
Revisi Undang-undang 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang dapat dikatakan sebagai pergantian UU menjadi UU nomor 32 tahun 2004, untuk memperbaiki kondisi pelaksanaan otonomi daerah yang kebablasan. Dalam UU No.22 tahun 1999 hanya disebutkan bahwa Negara Indonesia terdiri atas daerah provinsi dan daerah kabupaten kota. Ini ditafsirkan tidak adanya hirarki antar pemerintahan sehingga muncul konsep “kesejajaran antara provinsi dan kabupaten/kota”. Akibatnya, banyak kabupaten/kota yang tidak tunduk kepada gubernur dengan alasan sesuai dengan aturan Undang-undang. Ketidak seimbangan antara eksekutif dan legislatif (Legislative heavy), yang dikhawatirkan banyak kalangan pasca UU No.22 tahun 1999 berlaku mulai hilang. Hal ini dapat dilihat bahwa melalui UU No.32 ini, kewenangan DPRD banyak yang dipangkas, misalnya aturan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, DPRD yang hanya memperoleh laporan keterangan pertanggungjawaban, serta adanya mekanisme evaluasi gubernur terhadap Raperda APBD agar sesuai kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam pengelolaan sumber daya lokal di daerah menurut pasal 18 dan 21 UU nomor 32 tahun 2004 menyatakan bahwa daerah mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah. Sangat penting bagi kepala daerah untuk membangun sistem pemerintahan yang kuat. Beberapa sistem yang harus dibangun agar pemerintahan dapat menggali dan mewujudkan pengelolaan sumberdaya, yang sifatnya terbatas. Sistem yang perlu dibangun agar pengelolaan pemerintahan daerah dapat berjalan secara baik antara lain: sistem perencanaan pembangunan, sistem pengelolaan keuangan daerah, sistem kepegawaian, sistem pengelolaan aset daerah, sistem pengambilan keputusan, sistem penyeleksian dan pemilihan rekanan, sistem dan standar pelayanan, sistem pengawasan. Sistem yang dimaksud di sini dapat bersifat manual maupun yang berbasis teknologi informasi. Dukungan teknologi informasi menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan jika pemerintahan ingin berjalan lebih efisien dan efektif.

     4.4. Partisipasi Publik dalam Pengelolaan Sumberdaya di daerah   Menurut Rudyanto (2004: 3) bahwa, untuk pelaksanaan otonomi daerah di masa mendatang haruslah yang mampu meningkatkan pelayanan publik, kesejahteraan warga dan mendorong kondisi dunia usaha yang kondusif bagi pengembangan ekonomi lokal/daerah, beberapa hal yang perlu dilakukan menurutnya adalah (1)  adanya keikhlasan pusat agar daerah memperoleh hak-haknya untuk mengolah dan mengelola sumberdaya di daerahnya secara optimal; (2) untuk mencegah disincentives, pemda perlu mengembangkan strategi efisiensi dalam segala bidang; (3) untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah, perlu dikembangkan ekonomi lokal yang kuat dan secara sistemik akan mensinergikan potensi sumberdaya lokal dengan basis kemitraan lintas aktor-aktor pembangunan (stakeholders); (4) memanfaatkan dan mengelola SDA secara proporsional dan arif, agar kekayaan (resources endowment) tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari (green economic paradigm); (5) mendorong agregasi permintaan masyarakat (public demand) terhadap layanan publik dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pembuatan dan pengawasan dari kebijakan pembangunan (ekonomi) daerahnya.
Selanjutnya terkait dengan pengelolaan sumber daya ekonomi, pemerintah daerah yang efektif memiliki pengetahuan teknis, kapasitas, dan sumber daya keuangan untuk mempertahankan pelayanan publik lokal pada tingkat yang memuaskan kepada warga. Mereka belajar dari pengalaman dan mereka mampu untuk menyelesaikan sesuatu. Meskipun kemajuan dalam kapasitas dapat diukur dalam berbagai bidang, dua poin penting harus diingat:
1)  Untuk sebagian besar, masyarakat akan mengukur keberhasilan demokrasi lokal melalui kemampuan pemerintah lokal dalam meningkatkan kualitas hidup mereka, yaitu dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan sosial yang dirasakan dan memberikan atau meningkatkan pelayanan publik dasar.
2)  Kemampuan Pemerintah daerah untuk melakukan pembatasan secara ketat ketika sumber daya keuangan tidak cukup untuk memenuhi fungsi utama mereka dan ketika pendapatan yang signifikan yang hilang mengalami kebocoran dan korupsi (Anonym, 2000: 12)
Dari desentralisasi dapat diperoleh manfaat yang sangat penting adalah memberikan kepada pemerintah daerah untuk mendorong partisipasi politik dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. the opportunity of participation in public decision-making” (Ichimura & Bahl, edt, 2009: 158). Secara tegas Smith (1985) menjelaskan bahwa desentralisasi sebagai ”the transfer of power , which could be one of goverment within a state, or offices within a large organisation”. Point penting yang perlu digaris bawahi bahwa Smith menekankan pada gagasan depolusi, yang lebih kental digunakan pada pendekatan desentralisasi politik. Masyarakat belajar mengenal berbagai persoalan sosial, politik dan ekonomi, lalu mengungkapkannya dalam bentuk rumusan, melontarkannya dalam mosi ketidak percayaan dan dukungan pada setiap kebijakan pemerintah, belajar tentang anggaran dan pendapatan, serta dapat mencermati kondisi politik, kemapanan dan kemampuan para wakil politik. Sebagai tujuan pendidikan politik selanjutnya adalah bagaimana desentralisasi sebagai media untuk melatih dan pemagangan calon-calon pemimpin, yang dimulai dari level daerah untuk menuju persiapan menjadi pemimpin level di atasnya provinsi maupun tingkat nasional.
Selanjutnya selain desentralisasi politik, desentraliasi dalam bidang administrasi juga tidak kalah pentingnya, yang harus dipahami sebagai upaya peningkatan kemampuan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik secara efektif dan efisien. Pelibatan setiap komponen masyarakat dalam pembuatan keputusan, akan selain sebagai upaya pendidikan politik pada masyarakat, juga dapat meningkatkan kualitas keputusan dimana hasil kebijakan merupakan hasil dari upaya bersama dari setiap komponen yang terlibat. Keterlibatan publik, economic development, revenue mobilization, innovation in public service delivery, accountability of elected officials, capacity development at the local government level, and grassroots participation in governance (Ichimura & Bahl, edt, 2009:3). Namun pertanyaannya adalah  apakah mayoritas dewan lokal  (DPRD) secara memadai berkomitmen untuk perencanaan positif dan pengembangan manajemen proaktif, dan apakah otoritas perencanaan daerah memiliki sumber daya, keterampilan dan kebijakan / pedoman kerangka kerja untuk memberikan berkualitas tinggi, desain perkotaan yang berkelanjutan dan tempat untuk membuat pemerintah pusat dapat memenuhi segala keperluannya (Punter, 2010: 343).
Terkait dengan pelaksanaan desentralisasi, pemilihan tingkatan partisipasi pada masyarakat menurut Muluk (2010: 25) dapat dijelaskan sebagai berikut:  
pertama, karena kebijakan desentralisasi urusan pemerintahan lebih diprioritaskan pada daerah kabupaten atau kota sehingga lebih banyak urusan pemerintahan yang ditangani oleh daerah otonom tersebut. Kedua,  karena daerah otonom yang terendah adalah tingkat kabupaten dan kota sehingga pengaturan dan pengurusan berbagai urusan pemerintahan lebih dekat lebih dekat dengan masyarakat”.

Lebih lanjut ada empat prinsip yang digunakan untuk dijelaskan mengapa demokratisasi administrasi publik perlu dilakukan pada tingkatan pemerintahan daerah; (1) the scale principle menjelaskan bahwa terdapat beberapa fungsi yang lebih tepat diatur dan diurus pada tingkatan pemerintah pusat dan terdapat beberapa fungsi lain yang lebih tepat diatur dan diurus pada tingkatan pemerintahan daerah; (2) the democracy pinciple menjelaskan pada dasarnya proses pemerintahan seharusnya melibatkan masyarakat; (3) the accountability principle menjelaskan bahwa pemerintahan pada dasarnya adalah milik masyarakat; dan (4) the rationality principle menjelaskan bahwa proses partisipasi publik dalam pemerintahan daerah harus ditanggapi secara rasional (Muluk, 2010: 36-37).

V. Kesimpulan dan Rekomendasi
Pemerintah pusat menyerahkan kekuasaan kepada daerah, agar pemerintah daerah mampu menyelenggarakan otonomi daerah, dengan memanfaatkan secara maksimal seluruh potensi yang ada, baik sumberdaya ekonomi dan sumberdaya manusia dalam mencapai peningkatan kualitas pembangunan dan pelayanan publik di masyarakat. Pendidikan politik dan kemampuan administrasi dalam rangka memahami dan melaksanakan desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi, harus selalu dapat ditingkatkan pada setiap komponen yang terlibat dalam pelaksanaan pemerintahan daerah, maupun pejabat nasional yang melibatkan diri dalam monetoring dan pengawasan pemerintahan daerah.
Belajar dari berbagai persoalan tentang pengelolaan sumberdaya di daerah, dimana dapat terjadi konflik kepentingan antar daerah, daerah dengan level daerah diatasnya, daerah dengan pengelola sumberdaya di daerah. Maka pemerintah pusat bersama pemerintah daerah, perlu mengambil langkah-langkah penyelesaian, baik secara hukum, maupun secara administratif sehingga tidak meluas memasuki ranah kehidupan masyarakat secara keseluruhan, baik politik, ekonomi maupun sosial. Pengaturan atau regulasi tentang batas-batas kewenangan dan tanggungjawab antar daerah, dan daerah dengan pusat perlu dilakukan dan diperjelas dalam rangka menghindari terjadinya disintegrasi maupun konflik antar daerah.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas tentang kerumitan pelaksanaan desentraliasi khususnya dalam pengelolaan sumberdaya di daerah, maka disarankan pada pihak-pihak yang tertarik untuk mengadakan penelitian dan survey lebih lanjut, sehingga mendapatkan refleksi secara komprehensif tentang variasi dan diversifikasi model pelaksanaan desentralisasi di seluruh wilayah Indonesia.
                                     
Daftar Pustaka         

Anonym, 2000. Decentralization and Democratic Local Governance. Centre For Democracy And Governance, Washington
Bali Post, 2002. “Wirata Sindhu juga Dimintai Keterangan Terkait Dugaan Korupsi di DPRD Buleleng”. 25 Oktober 2002
Bali Post, 2012. Bupati Bagiada Siap Hadapi Gugatan Mantan Kepala KBPP.25 Februari 2012
Bali Post, 2012. Siswa Satu Sekolah Mogok Belajar. Sabtu, 7 Januari 2012, 09:09
Bali Post, 2012. Soal Pemecatan dan Isu KKN: Komisi C Panggil Direksi PD Swatantra dan Bank Buleleng. 12 Maret 2012
Bali post. 2011. Banyak LPD BermasalahKoordinasi PLPDK dan Pengawas Dinilai Lemah. 04 Juli 2011
Bali post. 2011. Sengketa Tanah Negara Bupati Siapkan Gugatan Intervensi. 05 Agustus 2011.
Bali post. 2012. Dimutasi, Guru Gugat Bupati ke PTUN. 13 Februari 2012
Denters, Bas, 2011. “Local Governance”. In Bevir, Mark, 2011. Governance.  Sage Publication, California
Dollery, Brian E & Joe L Wallis, 2001. The Political Economy of Local Government.  Edward Elgar Publishing, Massachusetts
Elcock, Howard, 2005. Local Government. Routledge, New York
Hadiz, Vedi R, 2005.  Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. LP3ES, Jakarta
Hoessein, Bhenyamin, 2011. Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: di Era Orde Baru ke Era Reformasi. Departemen Ilmu Administrasi Fisip UI, Jakarta
Holtzappel, Coen JG & Martin Ramstedt, 2009. Decentralization and Regional Autonomy in Indonesia: Implementation and Challenges.  ISEAS, Singapore
Ichimura, Shinichi & Roy Bahl, 2009. Decentralization Policies In Asian Development. World Scientific Publishing, Singpore
Kadi, Saurif, 2008. Mengutamakan Rakyat.  Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Leach, Steve, 1994. The Changing Organisation and Management of Local Government. Dalam Khairul Muluk,Compilator.  1998. Local Government.  Takanori Kobiki.
Muluk, Khairul, 2009. Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. ITS press, Surabaya
Muluk, Khairul. 2010. Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah. FIA Unibraw, Malang
Norton, Alan, 1997. International Handbook of Local and Regional Governament. Edward Elgar. Cheltenham
Parimartha, I Gede, 2011. “Kasus Adat Marak Sejak Perda Pekraman” Denpasar, Kompas.Com. Kamis, 15 Desember 2011
Punter, Jhon, 2010. “Planning and good design: indivisible or invisible?: A century of design regulation in English town and country planning”. In TPR, 81 (4) 2010 doi:10.3828/tpr.2010.14
Ratnasa,I Gede Sukardan, 2010.  “Investigasi raster Kasus Lemukih Berawal dari ''Landreform''. Bali Post. 29 Oktober 2010.

Rivai, Ardian Bakhtiar, 2010. Ajeg Bali: Konsep untuk Selamatkan Bali. OPINI | 29 July 2010 | http://regional.kompasiana.com/2010/07/29/ajeg-bali-konsep-untuk-selamatkan-bali/

Rudyanto, Arifin, 2004. “Kerangka Kerjasama Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut”. Dalam materi  Sosialisasi Nasional Program MFCDP, 22 September 2004 
Saito, Fumihiko, 2011. “Decentralization”. In In Bevir, Mark, 2011. Governance.  Sage Publication, California
Smith, BC, 1985. Decentralization: The Theorial Dimension Of The State.  George Allen & Unwin (Publisher), London
Steni, Bernadinus. 2004. Desentralisasi, Koordinasi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Pasca Otonomi Daerah. http://www.huma.or.id
Sugiharto, Bambang, 1996. Post Modernisme Tantangan bagi Filsafat. Kanisius, Yogyakarta
Theceli, 2008. Kewenangan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Lingkungan.  http://theceli.blogspot.com/2008/ 04/kewenangan-pemerintah-pusat-dan.html
Zhu, Xufeng & Qiyuan Jiao , 20123 “New Public Management” in China at the Local Level: Competition-Driven Local Public Service Reform in Tianjin”.  In Lex Localis - Journal Of Local Self-Government Vol. 10, No. 2, 153 - 170, April 2012

2 komentar:

  1. Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
    SITUS JUDI KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
    Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
    dengan kemungkinan menang sangat besar.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
    • AduQ
    • BandarQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • FaceBook : @TaipanQQinfo
    • WA :+62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    Come & Join Us!!

    BalasHapus
  2. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus