Jumat, 27 Desember 2013

Pencabutan Subsidi Menyengsarakan Rakyat Versus Menopang Anggaran Pendapatan Belanja Negara



(Sebuah Regulasi dalam kajian Ekonomi Politik)


1.    Latar Belakang
Apakah Bahan Bakar Minyak (BBM) dapat diperlakukan  sebagai Sembako (kebutuhan dasar)?. BBM merupakan “extended of basic needs” bagi masyarakat Indonesia, dikarenakan hampir di seluruh sendi kehidupan masyarakat Indonesia melibatkan energi yang namanya BBM. Dari kehidupan rumah tangga, industri, perkantoran, transfortasi, komunikasi dan informasi, penggunaannya baik secara langsung seperti pembelian minyak kendaraan sebagai transfortasi kerja, bahan bakar untuk memasak, mesin pompa air bagi petani, mesin kapal maupun perahu bagi nelayan, penggunaan secara tidak langsung, seperti penggunaan energi listrik berbahan bakar BBM.  Permasalahan energi dan BBM dirasakan akan semakin rumit. Hal itu dikarenakan masih banyak ditemukan distorsi dan penyimpangan dalam pengimplementasian kebijakan yang terjadi dilapangan. Menurut Ishom ada dua hal yang harus dilakukan sebagai langkah antisipasinya. Pertama harus ada penyesuaian terhadap subsidi pada satu komoditas yang jumlahnya amat besar dan tidak masuk akal, tetapi bukan karena yang mengada-ada, melainkan karena memang perubahan harga minyak dunia yang ekstrim. Penyesuaian harus terus dilakukan, sehingga anggaran negara hanya diperuntukkan untuk subsidi bagi golongan masyarakat kelas bawah. Prioritas APBN harus diarahkan pada usaha-usaha yang bermakna langsung bagi rakyat, bukan pada pengusaha atau pemilik mobil mewah. Di sisi lain anggaran pendidikan, pangan dan kesehatan juga masih memerlukan uluran tangan pemerintah secara serius, sehingga dengan demikian pemborosan untuk mensubsidi golongan menengah ke atas harus segera dipangkas, dicari solusi terbaik dalam mencermati krisis anggaran dan energi saat ini. Kedua, tetap mengontrol pemberian subsidi dengan pengawasan yang ketat dan disiplin terhadap ketentuan yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyelundupan. Harga BBM yang disubsidi sebenarnya hanya menimbulkan disparitas harga yang cenderung mendorong terjadinya penyelundupan dan penimbunan BBM. Dalam hal ini pemerintah belum mampu melaksanakan penanganan dalam mengatasi kelangkaan BBM.
Menarik apa yang disampaikan oleh seorang pengamat “namanya juga rakyat kecil, selalu terjepit walau menjerit sampai langit, bahkan perut sampai melilit, tetap saja kelas sandal jepit yang selalu terhimpit” pemerintah seolah-olah sudah terbiasa menghadapi aksi demontrasi kenaikan BBM sehingga tidak ada kompromi lagi dan harga BBM harus naik !!! (Sudirman, 2006:1). Pernyataan yang demikian menunjukkan bahwa telah terjadi krisis kepercayaan pada sistem pengelolaan “governance” oleh penyelenggara negara. Menurut Pippa Norris ada enam dimensi indikator pengukuran kualitas “governance” yaitu:
1)   voice and accountability, dimana di dalam layanan publik terjadi kebebasan berekspresi, bebas berasosiasi dan penyebarluasan kinerja melalui media;
2)   political stability and  absence, ketiadaan tekanan dari siapapun, kenyamanan dalam melaksanakan tugas pelayanan, peraturan-peraturan yang konsisten dan bebas dari pengaruh perubahan politik;
3)   government effectiveness, adalah menyangkut pencapaian kualitas layanan publik dan layanan sipil, kualitas pengambilan keputusan dan pelaksanaan keputusan, kredibilitas para pelaksana dan kebebasan dari tekanan-tekanan politik;
4)   regulatory quality, kemampuan pemerintah menyiapkan kebijakan dan produk hukum untuk meningkatkan dan menjamin pelayanan sektor publik dengan kualitas yang tinggi;
5)   rule of law, didukung oleh tata laksana hukum dan perundang-undangan guna jaminan bagi masyarakat dan sektor publik dari ancaman kejahatan dan penyimpangan; dan
6)   control of corruption, mengembangkan kekuatan untuk menghadapi korupsi dan berbagai kepentingan kelompok tertentu yang memungkinkan penyimpangan (Bevir, 2011: 188; Ferranti, et al.,  2009: 17)
Dengan demikian regulasi diperlukan untuk menjamin keberadaan dan konsisten energi dalam negeri, dimana BBM dirasa sangat krusial bagi keberlangsungan ekonomi Indonesia, dan secara politik dapat menimbulkan kekacauan, sama halnya dengan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar lain dari masyarakat kita. Menurut Gleeson and Low bahwa, regulasi spasial mencerminkan struktur otoritas yang sah dan klaim yang bersaing pertumbuhan ekonomi, globalisasi, keberlanjutan ekologis, keadilan  sosial dan transformasi demokratis (Steele & Gleeson, 2010: 302).

2.    Sejarah Perminyakan di Indonesia
Sejarah perminyakan dan pertambangan, di Indonesia di mulai sejak pengeboran sumur minyak tahun 1885 oleh Royal Duth atau  Shell Group di sumur minyak Telaga Tunggal Nomor 1. Pada awal abad ke-19 shell menjadi produsen minyak utama yang beropreasi di kepulauan Indonesia pada saat itu disebut Netherlands East Indies.  Pada Perang Dunia II, Caltex dan Stanvac  mulai beroperasi di Indonesia. Pada tahun 1940 Indonesia menjadi Negara penghasil minyak terbesar di kawasan Timur Jauh dengan produksi sebesar 63 juta barel per tahun. Tetapi cadangan minyak Indonesia yang sudah terbukti dan potensial sampai saat ini mencapai 9,7 miliar barel. Jika tingkat konsumsi minyak untuk masyarakat tidak dikendalikan, khawatir cadangan minyak diperkirakan akan habis dalam waktu 20 tahun, yaitu sekitar tahun 2020 (Buwono, Sultan Hamengku, 2007: 174).
Sejak regulasi dari UU No.8 tahun 1971 mendorong meningkatnya pendapatan minyak di Indonesia. Dengan perusahaan minyak Permina mengambil alih SHELL pertama kali memproduksi minyak mentah tahun 1958, selanjutnya Indonesia telah menjadi anggota OPEC (organisasi Negara-negara penghasil minyak) pada tahun 1962, yang kemudian tahun 1967 Permina memiliki armada tanker sendiri. Pada tahun 1968 Indonesia memiliki perusahaan nasional dibidang perminyakan yaitu Pertamina, yang kemudian tahun 1970, Pertamina dan Permina dimerger, dan sampai tahun 1980 Indonesia menjadi eksportir minyak yang kuat, dan memperoleh keuntungan yang besar.  Dalam hal ini adalah awal negara ini memanjakan rakyatnya dengan subsidi minyak, sehingga rakyat menikmati subsidi sampai saat ini sulit untuk dilepaskan. Dimana keadaan ini menurut penulis menjadikan rakyat tidak mampu melakukan penghematan, dan memanfaatkan BBM untuk keperluan produktif, selanjutnya kondisi ini membuat masyarakat sangat bergantung pada BBM. Meskipun produksi minyak cukup besar, tetapi tidak memberi dampak terhadap kesejahteran rakyat Indonesia, dimana di tahun 1990-1998 Pertamina mengalami skandal korupsi oleh kroni-kroni Soeharto, keadaan ini mendorong menunculnya regulasi UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas (Vassillou, 2009: 257).

3.    Deskripsi dan Regulasi Bidang Perminyakan
3.1.  Produk-produk Regulasi Relevan
Bahan bakar minyak (BBM) merupakan sumberdya alam yang memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap pendapatan nasional (Supriatna, dkk., 165). Namun disisi lain apabila penggunaannya tidak arif dan boros, maka akan terjadi kelangkaan akibat sumberdaya ini tidak dapat diperbaharui. Oleh sebab itu perlu dilakukan dan diatur melalui regulasi-regulasi, dan pelaksanaan regulasi harus diawasi dan dievaluasi oleh semua pihak.
Menurut Ridwan Aldilah dan Ratna Nataliani dasar pengelolaan energi di Indonesia termaktub dalam konstitusi negara Indonesia yaitu dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam pasal ini, ayat (2) dan (3) secara berturut-turut berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Frase ‘cabang-cabang produksi’ dalam ayat (2) menyatakan kegiatan hilir berada di bawah kuasa pemerintah. Begitu pula dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang tercermin pada frase ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung’. Ini artinya, pemerintah bertanggungjawab secara penuh atas keberlangsungan kegiatan pengelolaan energi. Salah satu cerminan dari pasal 33 UUD tahun 1945 adalah UU No.8 tahun 1971 yang mengatur tata kelola energi primer sektor migas.
Ketika UU No.8 tahun 1971 masih berlaku, Pertamina berperan sebagai satu-satunya perusahaan migas negara dan sebagai pemegang kuasa bisnis (economic/business rights). Sistem Production Sharing Contract (PSC) yang diimplemetasikan oleh Pertamina sejak tahun 1966 menjadi format kontrak yang paling cocok digunakan di Indonesia. Di bawah kendali Pertamina, para investor mau bekerjasama dengan Pertamina atas kontrak-kontrak kerja yang telah disepakati. Pada saat itu, pemenuhan kebutuhan energi Indonesia jauh lebih baik dibanding setelah UU Migas diberlakukan. Dapat dibandingkan ketika blok-blok operasi migas masih dimiliki atau dikuasai oleh Pertamina maka pemasukan sektor migas kepada negara menjadi maksimal.
Kekacauan pengelolaan sektor energi migas ini bermula pada perubahan regulasi yang mengatur dunia energi migas Indonesia. Peralihan regulasi dari UU No.8 tahun 1971 ke UU No.22 tahun 2001 (UU Migas), menggoyahkan ketahanan energi nasional. Roh revisi undang-undang yang akrab kita sebut UU Migas ini mengindikasikan ketidak-berpihakan pemerintah pada pemenuhan energi domestik. Akibatnya, kerugian negara di sana-sini dan tidak sedikitpun respon pemerintah dalam menangani kerugian besar-besaran yang terjadi.
Permohonan pengujian Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), pasal 1 angka 19 dan 23, pasal 3 huruf b, pasal 4 ayat (3), pasal 6, pasal 9, pasal 10, pasal 11 ayat (2), pasal 13 dan pasal 44 UU Migas, telah dilakukan. UU Migas berdampak sistemik terhadap kehidupan rakyat dan dapat merugikan keuangan negara. Sebab, UU Migas membuka liberalisasi pengelolan Migas yang sangat dipengaruhi pihak asing. Dunia permigasan dikuasai oleh perusahaan asing sampai 89 persen. Sebenarnya juga telah dilakukan uji materiil melalui MK sebelumnya, dengan keluarnya keputusan MK No. 002/PUU-I/2003 yang telah membatalkan khususnya pasal 28 ayat (2) UU Migas. Berdasarkan putusan ini, penentuan harga BBM (dalam negeri) tidak boleh diserahkan kepada mekanisme harga pasar bebas (Syamsuddin dkk., 2012).

3.2.  Tujuan Regulasi
Regulasi yang dilakukan Negara pada dasarnya adalah untuk menjamin keberlangsungan layanan Negara pada rakyatnya, dan disisi lain rakyat memperoleh jaminan hokum dan perlindungan atas hak-hak dari ancaman penguasa Negara, ataupun pihak-pihak lain yang dianggap merugikan. Secara umum regulasi oleh Negara ditujukan pada upaya-upaya sebagai berikut:
a)    Adanya jaminan kepastian  hukum, bebas dari korupsi dan mengarah pada tatakelola yang berkualitas “lead to better governance quality and less corruption” (Holtzappel & Martin Ramstedt, 2009: 101). Menyediakan kebaikan bersama dan melindungi warga negara dari pemerintah mereka (Savas, 1982: 3).
b)   Membela masyarakat yang lemah, terutama memberi jaminan atas tercapainya pemenuhan basic needs or basic goods and service that people need (Savas, 1982: 5) dan “specific service commitments to improve service delivery to the poor and low income households (Minogue & Carino, 2006: 258).
c)    Partisipasi masyarakat dalam memperkuat kapasitas Negara “state capacity”. Partisipasi di semua posisi, yang melibatkan aktor utama dari pengambilan keputusan ekonomi, diperkirakan memerlukan peluang ideologi dan kekuasaan, karena itu menjadi masalah penting bagi para pihak dan rakyat (Evans et.all., 1989: 237)
d)   Sebagai jaminan pengukuran Kualitas regulasi : effective, efficiency, opened, technology transform, societal transformation, accountability.
e)    Perlindungan dan proteksi terhadap lingkungan; “the trend toward greater energi use, the trend towards greater mobility, and climate change” (Compston, 2009: 132)
f)     Mencegah ketimpangan “social gap”, mendistribusikan kesejahteraan melalui proses pemerataan dan persamaan, untuk tidak menjadikan ketimpangan yang terlalu jauh antara si kaya dan simiskin “both rich people and poor people, who make this later argument equate equity with equality”(Savas, 2000: 96)
g)   Mengurangi “vulnerability people” (kelompok rentan), hal ini sangat berkaitan dengan kemampuan negara “state’s capacity dalam mengatasi penyimpangan dan kemampuan keuangan “fiscal capabilities” dalam menangani persoalan ekonomi (Evas et.all., 1989:352);
h)   Sebagai langkah antisipasi terhadap globalisasi dan perubahan iklim; “to provide account of the problem of the global order in the contemporary conjuncture (Goede, 2006: 64);
i)     Mendorong kemandirian negara dan masyarakat “self-sufficient” serta kesejahteraan rakyat  dan memiliki “outonomous institutional”. Pembangunan ekonomi adalah suatu kondisi untuk memperbaiki kualitas hidup; peningkatan income perkapita, dan kesempatan kerja  (Todaro, 1990: 96).
j)     Mencegah konflik sosial dan disitegrasi bangsa, ketidak nyamanan dalam memenuhi kebutuhan dasar dapat memicu konflik horizontal. “Precondition for justice and equality in the distribution of goods and resources as well as cultural identities” (Browning & Klimister, 2006:8).

4.    Peran Pemerintah dan  Distribusi Subsidi BBM
Government is a tool that society employs to help attain these goals and to strike the balance, even though in excess it threatens all three goals.. freedom, justice and efficiency are all essential” (Savas, 1982: 4). Selanjutnya dalam tulisan Savas (1982: 5) menyebutkan bahwa dengan arah privatisasi sektor publik sebagai bentuk regulasi dapat mempertimbangkan empat hal : 1) pengurangan pengadaan atau subsidi pada pelayanan tertentu; 2) membuat pengaturan secara lebih luas dari penyelenggaraan pelayanan dengan sedikit campur tangan peran pemerintah; 3) pembayaran pegawai dengan biaya yang lebih visible dan 4) menggunakan sistem kompetisi secara penuh untuk menghindari dampak yang merugikan dari monopoli pemerintah.
Regulasi juga dapat diarahkan pada problem penyelenggaraan layanan pada masyarakat yang semula state centre, dengan ciri negara memiliki peran luas dalam pengaturan masyarakat “strong state” pemerintah sebagai “single regulator” dalam menentukan dan menyediakan “common good”. Kapasitas lembaga pemerintah dapat menggunakan kewenangannya, serta secara efektif memainkan peranan, untuk mengatur ekonomi dan interaksi politik untuk dapat memaksakan pelaksanaan kebijakan, legalitas formal, norma sosial dan perilaku politiknya kepada kelompok di luar mereka (Dollery and Wallis, 2001: 146). Dan pada gilirannya terjadi perubahan bagaimana bola bergulir dari state centre ke “society centre” , dengan karakteristik masyarakat secara individual menentukan dan menyusun tujuan secara kolektif apa yang disebut sebagai “common good”  melalui self-regulatory”. Baik regulasi melalui state maupun society semua diarahkan pada upaya pencapaian kebutuhan publik yang berkualitas dan efisiensi, seperti yang dikemukakan Alan Norton sebagai berikut “ensuring as good a level of quality and efficiency as possible within the resources contributed” (Norton, 1997: 81).
Description: http://2.bp.blogspot.com/-OIxJTJGN9dg/T1B4iKiWG3I/AAAAAAAAAH4/CIn9crL0XNI/s1600/ProdKonsumsiImporBBM.jpg
Artinya, kita memang perlu mendisiplinkan konsumsi BBM Indonesia. Pertanyaannya, betulkah kenaikan harga BBM akan mendisiplinkan pemborosan BBM? Diperlukan ketegasan pemerintah untuk dapat memenuhi yang yang disebut oleh “political order” terdapat tiga komponen dalam political order modern adalah “a strong and capale state, the state’s subordination to rule of law, and government accountibility  to all citizens (Fukuyama: 2011). Dalam penegakan sebuah kebijakan pemerintah harus memiliki kekuatan dan kemampuan, serta keberanian untuk menegakan hokum agar dapat menjamin kepastian hokum atas berlakunya kebijakan. Disamping itu pemerintah juga harus menunjukkan akuntabilitas publik pada semua warga Negara. Mari kita lihat data-data di Tabel 2 tentang konsumsi BBM bersubsidi di Indonesia 2005-2010. Di sini, yang dimasukkan sebagai BBM bersubsidi hanyalah mogas (motor gasoline atau bensin), solar dan minyak tanah, karena ketiga jenis BBM itulah yang sering disebutkan dalam berbagai peraturan negara tentang penetapan harga eceran BBM (subsidi). Begitu pula, di sini diasumsikan bahwa jumlah total dari ketiga jenis BBM ini disubsidi.
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhh2G-kTMMjQlnLl8nTFxCMkI5-y-4H3SuMDN03xOGNgOmiGe__HX7xR9bsXjMQPZGURjwhcJrg5VnojFnkQ4LdVSKm7tpyUe_dD7eu9Mc1tM5sZ9I8HgTnl8-F4f6eh6VdAbk3zhyphenhyphenZOrI/s1600/KonsumsiBBMBersubsidi.jpg          Pada bulan Mei 2008, pemerintah menaikkan harga minyak tanah dari Rp2.000 menjadi Rp2.500, harga premium dinaikkan dari Rp4.500 menjadi Rp6.000, dan harga minyak solar dinaikkan dari Rp4.300 menjadi Rp5.500. Tapi dari data di Tabel 2, kita lihat, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam konsumsi BBM bersubsidi antara tahun 2008 dengan tahun-tahun lainnya. Bahkan konsumsi mogas dan solar di tahun 2008 lebih besar daripada tahun 2006 dan 2007. Padahal pada tahun 2006 dan 2007, harga premium masih Rp4.500, dan harga minyak solar masih Rp4.300.

5.    BBM sebagai “basic need” ? sebuah Kajian Ekonomi Politik
Dalam hal penentuan kebutuhan dasar menurut hemat penulis BBM mungkin bagi sebagian orang adalah bagian dari kebutuhan dasar yang paling dasar, dibanding dengan yang lain, semisal pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan primer lainnya. Mengapa demikian? mencapai kebutuhan dasar lain diperlukan adanya bahan bakar minyak, misalnya pendidikan untuk sampai ke sekolah perlu transfortasi yang melibatkan penggunaan minyak, untuk dapat mengkonsumsi bahan pangan perlu ke pasar, perlu memasak, dan untuk mendapatkan air bersih perlu dimasak, bila tempatnya jauh perlu transfortasi. Akhirnya sebagian dari kehidupan manusia memerlukan BBM. Dengan demikian BBM adalah sarana untuk mencapai basic need yang lain (syarat dasar).
Dengan demikian pengaturan atau regulasi diperlukan dalam hal ini adalah untuk mencapai: a) extent the basic needs; b)  attainment of basic needs;  c) achievement quality human life : life expectancy, infant mortality, literacy and reduce risk of poverty; dan d) bring national prosperity.  Konsep regulasi Negara  'telah muncul untuk menggambarkan kegiatan negara yang telah bergeser fokusnya dari stabilisasi ekonomi makro dan kebijakan redistributif terhadap peningkatan efisiensi ekonomi dalam hal kegagalan pasar, sering mengembangkan level lembaga pengambil keputusan ditambahkan dari waktu ke waktu  (kirkpstrick & Parker, 2007: 75)
Berbagai pandangan pelaksanaan subsidi BBM. Government intervention toward supply and demand of the basic needs” ini adalah spirit dari sebuah regulasi pemerintah. Akan tetapi bagaimana kalau regulasi tidak disetujui oleh masyarakat yang akan dikenai dampak sebuah regulasi. Pemutusan subsidi BBM menimbulkan pandangan pro dan kontra, baik yang benar-benar berdasarkan analisis ekonomi maupun politik, atau sekedar pendapat tanpa rasionalitas faktual dan tidak lebih dari suara oposisi yang tidak berkualitas. Pendekatan proses regulasi yang menekankan pada rembesan ke bawah melalui  trickledown effect”, implies positive spillover effects percolating beyong the confines of the original stimulus” (Persky, et.all.,2004: 5). Rembesan ke bawah ini, dimana diharapkan secara perlahan memberi dampak positif kepada rakyat menjadi dipertanyakan oleh banyak orang, disebabkan berbagai asumsi dan opini yang berkembang dan membingungkan bagi masyarakat kelas bawah. Rupanya masing-masing pakar, tehnokrat dan pejabat publikpun memiliki standar yang berbeda dalam memberikan analisis terhadap pencabutan subsidi BBM dan pengaruhnya terhadap anggaran negara serta kesejahteraan masyarakat.
Berikut ini disampaikan beberapa landasan berpikir pelaksanaan atau pencabutan  subsidi BBM:


Pro Pencabutan Subsidi BBM:
a)    Pencabutan subsidi tujuan utama adalah mengurangi tekanan finansial akibat kenaikan minyak didunia, dimana kebutuhan dalam negeri lebih besar daripada produksi minyak dalam negeri, sehingga negara membutuhkan impor minyak;
b)   Subsidi selama ini dinikmati oleh orang kaya seperti pengusaha, dan pemilik mobil mewah (orang-orang golongan menengah ke atas);
c)    Selisih kenaikan harga BBM dapat dikonvensasikan pada sektor lain, yang langsung memberi dampak pada masyarakat golongan ekonomi lemah, seperti BLS (bantuan langsung sementara), pembangunan infrastruktur, biaya kesehatan, pendidikan dan lain-lain);
d)   Dapat terjadi penghematan penggunaan BBM, karena harga mahal maka rakyat dapat melakukan konversi ke sumber energi lain atau menghemat penggunaan BBM dengan melakukan pengurangan penggunaan pada hal-hal yang tidak penting dan terkesan boros;
e)    Menambah anggaran negara untuk keperluan cadangan dan investasi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi; dan
f)    Konskwensi bila subsidi tidak dicabut memberi dampak pada anggaran negara yang tidak akan mampu menopang peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi; melemahnya pembangunan infrastruktur dan basic needs masyarakat.
Kelompok Oposisi (kontra kenaikan BBM)
a)    Subsidi dicabut justru mempercepat mempermiskinkan masyarakat, karena yang menikmati subsidi selama ini justru sebagian besar adalah penduduk miskin;
b)   Kontrol terhadap pelaksanaan konvensasi subsidi berupa BLT (bantuan langsung tunai) tidak memadai dan dianggap tidak tepat sasaran;
c)    Pengawasan minyak bersubsidi tidak maksimal, cenderung mendorong terjadinya penyimpangan seperti penerapan BBM non subsidi pada kendaraan mewah tidak ketat, penyelundupan dan ekspor BBM bersubsidi oleh oknum tidak bertanggungjawab;
d)   Selisih BBM bersubsidi dicurigai sebagian besar dipergunakan untuk belanja pegawai dan terjadinya korupsi dikalangan para penyelenggara negara;
e)    Penempatan patokan harga BBM sesuai dengan harga pasar bertentangan dengan UU 1945 pasal 33 dan Putusan MK terhadap gugatan UU 22 tahun 2001 tentang Minyak Bumi.

6.    Rekomendasi
Pada konferensi Dunia Biomassa Energi dan Perubahan Cauaca yang kedua, tahun 2003, di Roma, Italia, Volkswagon-Exxon Mobile menyebutkan bahwa berdasarkan jenis bahan bakar dan otomotif yang akan mendominasi pasar, dunia akan dihadapkan pada empat generasi bahan bakar transfortasi, yaitu:
1)   Generasi pertama, merupakan generasi bahan bakar minyak (BBM) berbasis petroleum (minyak bumi) yang diperkirakan akan mendominasi pasar hingga tahun 2010;
2)   Generasi kedua, merupakan generasi BBM mix atau campuran antara BBM terbarukan dan BBM petroleum yang saat ini telah banyak digunakan, dan diperkirakan akan bertahan hingga tahun 2050. Masa ini ditandai dengan komersialisasi bio-diesel (pengganti petro-diesel) dan bio-ethanol (pengganti minyak bensin);
3)   Generasi ketiga, merupakan generasi BBM terbarukan (advance synthetic fuel), seperti Flash Pyrolysis Oil (bio-oil), Fischer Tropsch (FT) Metahnol, dan Hydro-Thermal Upgrading Oil (HTU). Teknologi pembuatannya lebih sulit dan memakan biaya produksi yang tinggi. Produk ini diperkirakan baru akan ekonomis pada kisaran 2050-2100.
4)   Generasi keempat, merupakan generasi hydrogen. Pada tahun 2010, setelah minyak bumi benar-benar habis, hydrogen diprediksi akan menjadi handalan, menigingat bahan ini memiliki nilai kalori yang tertinggi (143 MJ/Kg) diantara sumber energi lainnya. Nilai kalroi satu liter setara dengan empat kali nilai kalori lima liter bensin atau empat liter diesel (Mahfud dalam Ishom, Faizul, dkk., edt., 2008: 55-56).

Dari gambaran di atas bahwa ada sumber-sumber energi yang akan mengalami penyusutan dan memerlukan kearifan dalam menggunakannya. Penghematan energi dan pemanfaatan energi dengan orientasi produktifitas sangat penting untuk diupayakan, baik yang dilakukan melalui regulasi negara, dalam hal penerapan regulasi negara harus kuat, dan memiliki legitimasi di mata masyarakat. Disisi lain society  juga harus mengatur dirinya dalam menggunkan energi dan memiliki kualitas untuk melakukan terobosan penggunaan energi lain yang belum banyak disentuh di negara ini. Konversi minyak ke sumber energi lain: a) minyak dengan gas; b) minyak ke batubara; c) minyak ke tenaga matahari; d) panas bumi dan dari biotechnology atau bio-diesel.
Gambar diambil dari (Burkea &  Bonham, 2010: 278).
Melakukan perubahan sistem transfortasi “change in public transport mode share” (Stone & Mees, 2010: 266), dari penggunaan kendaraan bermotor dengan sepeda, seperti regulasi yang dilakukan di Universitas Gadjah Mada dan regulasi pemerintah US dan Australia, “public transport systems will change under oil scarcity with a likely focus on public transport networking in cities” (Burkea &  Bonham, 2010: 277).

Kesimpulan
Bahan bakar minyak dapat dikatakan sepadan dan menjadi kebutuhan dasar dalam masyarakat Indonesia, apabila terjadi ganngguan dalam pemenuhannya, maka  akan terjadi konflik dan penurunan pertumbuhan ekonomi, dan menimbulkan multiflier efek, serta berpengaruh efektif pada sendi-densi kehidupan yang lain.
Penggunaan BBM secara berlebihan dapat mempercepat terjadinya krisis energi, dan memberi dampak buruk pada lingkungan oleh sebab itu pemerintah bersama-sama masyarakat perlu melakukan pengaturan atau regulasi penggunaan upaya penggunaan energi secara bijaksana dan berkelanjutan. Disamping itu upaya pengunaan sumber energi lain selain BBM oleh masyarakat dan pemerintah dapat didorong dan dimaksimalkan.
Daftar Pustaka
Aldilah, Ridwan & Ratna Nataliani, 2010. Kisruh Migas Pasca UU Migas No. 22 tahun 2001. http://majalahenergi.com/akademisi/kisruh-migas-pasca-uu-migas-no-22-tahun-2001
Bevir, Mark, eds., 2011.  Governance. London: Sage Publications.
Browning, Gary & Andrew Kilmister, 2006. Critical and Post Critical Political Economy. Palgrave Macmillan, New York

Burke, Matthew Ian & Jenifer Bonham, 2010. Rethinking Oil Depletion: What Role Can Cycling Really Play In Dispersed Cities?. Routlegde, Taylor & Francis Group.

Buwono, Sultan Hamengku, 2007. Merajut Kembali Ke Indonesiaan Kita.  Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Compton, Hugh, 2009. Policy Networks and Policy Change. Palgrave Macmillan, New York

Dollery, Brian E & Joe L Wallis, 2001. The Political Economy of Local Government.  Edward Elgar Publishing, Massachusetts

Evans, Peter B. et all., eds., 1989. Bringing the State Back in. Cambridge University Press. New York
Ferranti, David de, et al.,  2009. how to improve governance: A New Framework for Analysis and Action. Washington, D.C. : brookings institution press
Fukuyama, Francis, 2011.  Origins of Political Order. Profile Books LTD, London
Goede, Marieke De, 2006. International Political Economy and PostStructural Politics. Palgrave, Macmillan

Holtzappel, Coen JG & Martin Ramstedt, 2009. Decentralization and Regional Autonomy in Indonesia: Implementation and Challenges.  ISEAS, Singapore

Ishom, Faizul, dkk., edt., 2008. BBN: Bahan Bakar Nabati. Penebar Swadaya, Bogor

Kirkpatrick, Colin & David Parker, Eds., 2007. Regulatory Impact Assesment: Toward Better Regulation?. Edward Elgar, UK Northampton

Minogue, Martin & Ledvina Carino, eds., 2006. Regulatory Governance In Developing Countries. Edward Elgar, UK Northamton

Norton, Alan, 1997. International Handbook of Local and Regional Governament. Edward Elgar. Cheltenham

Persky, Joseph, et.all.,2004.  Does “trickle down” work: Economic Development Strategies and Job Chains In Local Labor Market. WE. Upjohn Institue For Employment Research, Michigan.

Savas, E.S, 2000. Privatization and Public-Private Partnerships. Chatam House Publishers, New Jersey

Savas, ES, 1982. Privatizing the Public Sector. Chatam House Publishers, New Jersey

Steelea, Wendy Elizabeth & Brendan Gleeson, 2010. “Mind the governance gap: oil vulnerability and urban resilience in Australian cities”. In Planning Institute Australia, Vol. 47, No. 4, December 2010, 302_310. Routledge, Taylor & Francis Group.
Stone, John & Paul Mees, 2010. Planning Public Transport Networks In The Post-Petroleum Era. Routledge, Taylor & Francis Group. Australian Planner Vol. 47, No. 4, December 2010, 263_271
Sudirman, Urip,2006. Metode Tepat Menghemat Bahan Bakar (Bensin) Mobil. PT Kawan Pustaka, Jakarta

Supriatna, dkk., 2005. Ilmu Pengetahuan Sosial (Geografi, Sejarah, Sosiolgi, Ekonomi. Grafindo Media Pratama.
Syamsuddin, Din, dkk., 2012. Puluhan Tokoh Dan Ormas ‘Gugat’ UU Migas. Kamis, 29 March 2012 http://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt4f74428c874eb/
Todaro, Michael P.,1990. Economics for a Developing World: An Introduction to Priciples, Problems and Policies for Development. Logman, London

Vassiliou, 2009. The A to Z of The Petroleum Industry. Scarecrow Press, Boulevard.