(Sebuah Regulasi dalam kajian Ekonomi Politik)
1. Latar Belakang
Apakah Bahan Bakar Minyak (BBM) dapat diperlakukan sebagai Sembako (kebutuhan dasar)?. BBM merupakan
“extended of basic needs” bagi masyarakat
Indonesia, dikarenakan hampir di seluruh sendi kehidupan masyarakat Indonesia
melibatkan energi yang namanya BBM. Dari kehidupan rumah tangga, industri,
perkantoran, transfortasi, komunikasi dan informasi, penggunaannya baik secara
langsung seperti pembelian minyak kendaraan sebagai transfortasi kerja, bahan
bakar untuk memasak, mesin pompa air bagi petani, mesin kapal maupun perahu
bagi nelayan, penggunaan secara tidak langsung, seperti penggunaan energi listrik
berbahan bakar BBM. Permasalahan energi
dan BBM dirasakan akan semakin rumit. Hal itu dikarenakan masih banyak
ditemukan distorsi dan penyimpangan dalam pengimplementasian kebijakan yang
terjadi dilapangan. Menurut Ishom ada dua hal yang harus dilakukan sebagai
langkah antisipasinya. Pertama harus
ada penyesuaian terhadap subsidi pada satu komoditas yang jumlahnya amat besar
dan tidak masuk akal, tetapi bukan karena yang mengada-ada, melainkan karena
memang perubahan harga minyak dunia yang ekstrim. Penyesuaian harus terus
dilakukan, sehingga anggaran negara hanya diperuntukkan untuk subsidi bagi
golongan masyarakat kelas bawah. Prioritas APBN harus diarahkan pada
usaha-usaha yang bermakna langsung bagi rakyat, bukan pada pengusaha atau
pemilik mobil mewah. Di sisi lain anggaran pendidikan, pangan dan kesehatan
juga masih memerlukan uluran tangan pemerintah secara serius, sehingga dengan
demikian pemborosan untuk mensubsidi golongan menengah ke atas harus segera
dipangkas, dicari solusi terbaik dalam mencermati krisis anggaran dan energi
saat ini. Kedua, tetap mengontrol
pemberian subsidi dengan pengawasan yang ketat dan disiplin terhadap ketentuan
yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyelundupan.
Harga BBM yang disubsidi sebenarnya hanya menimbulkan disparitas harga yang
cenderung mendorong terjadinya penyelundupan dan penimbunan BBM. Dalam hal ini
pemerintah belum mampu melaksanakan penanganan dalam mengatasi kelangkaan BBM.
Menarik apa yang disampaikan oleh seorang pengamat “namanya juga rakyat kecil, selalu terjepit walau menjerit sampai
langit, bahkan perut sampai melilit, tetap saja kelas sandal jepit yang selalu
terhimpit” pemerintah seolah-olah sudah terbiasa menghadapi aksi demontrasi
kenaikan BBM sehingga tidak ada kompromi lagi dan harga BBM harus naik !!!
(Sudirman, 2006:1). Pernyataan yang demikian menunjukkan bahwa telah terjadi
krisis kepercayaan pada sistem pengelolaan “governance”
oleh penyelenggara negara. Menurut Pippa Norris ada enam dimensi indikator pengukuran
kualitas “governance” yaitu:
1)
voice and
accountability, dimana di dalam layanan publik terjadi kebebasan
berekspresi, bebas berasosiasi dan penyebarluasan kinerja melalui media;
2)
political
stability and absence, ketiadaan
tekanan dari siapapun, kenyamanan dalam melaksanakan tugas pelayanan,
peraturan-peraturan yang konsisten dan bebas dari pengaruh perubahan politik;
3)
government
effectiveness, adalah menyangkut pencapaian kualitas layanan publik dan
layanan sipil, kualitas pengambilan keputusan dan pelaksanaan keputusan,
kredibilitas para pelaksana dan kebebasan dari tekanan-tekanan politik;
4)
regulatory
quality, kemampuan pemerintah menyiapkan kebijakan dan produk hukum untuk
meningkatkan dan menjamin pelayanan sektor publik dengan kualitas yang tinggi;
5)
rule of law,
didukung oleh tata laksana hukum dan perundang-undangan guna jaminan bagi
masyarakat dan sektor publik dari ancaman kejahatan dan penyimpangan; dan
6)
control of
corruption, mengembangkan kekuatan untuk menghadapi korupsi dan berbagai
kepentingan kelompok tertentu yang memungkinkan penyimpangan (Bevir, 2011: 188;
Ferranti, et al., 2009: 17)
Dengan
demikian regulasi diperlukan untuk menjamin keberadaan dan konsisten energi
dalam negeri, dimana BBM dirasa sangat krusial bagi keberlangsungan ekonomi
Indonesia, dan secara politik dapat menimbulkan kekacauan, sama halnya dengan
tidak terpenuhinya kebutuhan dasar lain dari masyarakat kita. Menurut Gleeson
and Low bahwa, regulasi spasial mencerminkan struktur otoritas
yang sah dan klaim yang bersaing pertumbuhan ekonomi,
globalisasi, keberlanjutan ekologis, keadilan sosial dan transformasi demokratis (Steele & Gleeson, 2010: 302).
2. Sejarah Perminyakan di Indonesia
Sejarah perminyakan dan pertambangan, di Indonesia di mulai sejak
pengeboran sumur minyak tahun 1885 oleh Royal
Duth atau Shell Group di sumur minyak Telaga Tunggal
Nomor 1. Pada awal abad ke-19 shell
menjadi produsen minyak utama yang beropreasi di kepulauan Indonesia pada saat
itu disebut Netherlands East Indies. Pada Perang Dunia II, Caltex dan Stanvac mulai beroperasi di Indonesia. Pada tahun 1940
Indonesia menjadi Negara penghasil minyak terbesar di kawasan Timur Jauh dengan
produksi sebesar 63 juta barel per tahun. Tetapi cadangan minyak Indonesia yang
sudah terbukti dan potensial sampai saat ini mencapai 9,7 miliar barel. Jika
tingkat konsumsi minyak untuk masyarakat tidak dikendalikan, khawatir cadangan
minyak diperkirakan akan habis dalam waktu 20 tahun, yaitu sekitar tahun 2020
(Buwono, Sultan Hamengku, 2007: 174).
Sejak regulasi dari UU No.8
tahun 1971 mendorong meningkatnya pendapatan minyak di Indonesia. Dengan
perusahaan minyak Permina mengambil alih SHELL pertama kali memproduksi minyak
mentah tahun 1958, selanjutnya Indonesia telah menjadi anggota OPEC (organisasi
Negara-negara penghasil minyak) pada tahun 1962, yang kemudian tahun 1967
Permina memiliki armada tanker sendiri. Pada tahun 1968 Indonesia memiliki
perusahaan nasional dibidang perminyakan yaitu Pertamina, yang kemudian tahun
1970, Pertamina dan Permina dimerger, dan sampai tahun 1980 Indonesia menjadi
eksportir minyak yang kuat, dan memperoleh keuntungan yang besar. Dalam hal ini adalah awal negara ini
memanjakan rakyatnya dengan subsidi minyak, sehingga rakyat menikmati subsidi
sampai saat ini sulit untuk dilepaskan. Dimana keadaan ini menurut penulis
menjadikan rakyat tidak mampu melakukan penghematan, dan memanfaatkan BBM untuk
keperluan produktif, selanjutnya kondisi ini membuat masyarakat sangat
bergantung pada BBM. Meskipun produksi minyak cukup besar, tetapi tidak memberi
dampak terhadap kesejahteran rakyat Indonesia, dimana di tahun 1990-1998
Pertamina mengalami skandal korupsi oleh kroni-kroni Soeharto, keadaan ini mendorong
menunculnya regulasi UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas (Vassillou, 2009: 257).
3. Deskripsi dan Regulasi Bidang Perminyakan
3.1. Produk-produk Regulasi Relevan
Bahan
bakar minyak (BBM) merupakan sumberdya alam yang memberikan sumbangan yang
sangat besar terhadap pendapatan nasional (Supriatna, dkk., 165). Namun disisi
lain apabila penggunaannya tidak arif dan boros, maka akan terjadi kelangkaan
akibat sumberdaya ini tidak dapat diperbaharui. Oleh sebab itu perlu dilakukan
dan diatur melalui regulasi-regulasi, dan pelaksanaan regulasi harus diawasi
dan dievaluasi oleh semua pihak.
Menurut Ridwan Aldilah dan
Ratna Nataliani dasar pengelolaan energi di Indonesia
termaktub dalam konstitusi negara Indonesia yaitu dalam Pasal 33 UUD 1945.
Dalam pasal ini, ayat (2) dan (3) secara berturut-turut berbunyi “Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara” dan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.” Frase ‘cabang-cabang produksi’ dalam ayat (2) menyatakan kegiatan
hilir berada di bawah kuasa pemerintah. Begitu pula dengan kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi yang tercermin
pada frase ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung’. Ini artinya,
pemerintah bertanggungjawab secara penuh atas keberlangsungan kegiatan
pengelolaan energi. Salah satu cerminan dari pasal 33 UUD tahun 1945 adalah UU
No.8 tahun 1971 yang mengatur tata kelola energi primer sektor migas.
Ketika UU No.8 tahun 1971
masih berlaku, Pertamina berperan sebagai satu-satunya perusahaan migas negara
dan sebagai pemegang kuasa bisnis (economic/business
rights). Sistem Production Sharing
Contract (PSC) yang diimplemetasikan oleh Pertamina sejak tahun 1966
menjadi format kontrak yang paling cocok digunakan di Indonesia. Di bawah
kendali Pertamina, para investor mau bekerjasama dengan Pertamina atas kontrak-kontrak kerja yang telah
disepakati. Pada saat itu, pemenuhan kebutuhan energi Indonesia jauh lebih baik
dibanding setelah UU Migas diberlakukan. Dapat dibandingkan ketika blok-blok operasi migas masih dimiliki atau dikuasai oleh Pertamina maka pemasukan sektor
migas kepada negara menjadi maksimal.
Kekacauan pengelolaan sektor energi migas
ini bermula pada perubahan regulasi yang mengatur dunia energi migas Indonesia.
Peralihan regulasi dari UU No.8 tahun 1971 ke UU No.22 tahun 2001 (UU
Migas), menggoyahkan ketahanan
energi nasional. Roh revisi
undang-undang yang akrab kita sebut UU Migas ini mengindikasikan ketidak-berpihakan pemerintah pada pemenuhan
energi domestik. Akibatnya, kerugian negara di sana-sini dan tidak sedikitpun respon
pemerintah dalam menangani kerugian besar-besaran yang terjadi.
Permohonan
pengujian Undang-Undang No.
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), pasal 1
angka 19 dan 23, pasal 3 huruf b, pasal 4 ayat (3), pasal 6, pasal 9,
pasal 10, pasal 11 ayat (2), pasal 13 dan pasal 44 UU Migas, telah dilakukan. UU
Migas berdampak sistemik terhadap kehidupan rakyat dan dapat merugikan keuangan
negara. Sebab, UU Migas membuka liberalisasi pengelolan Migas yang sangat
dipengaruhi pihak asing. Dunia permigasan dikuasai oleh perusahaan asing sampai
89 persen. Sebenarnya juga telah dilakukan uji materiil melalui MK sebelumnya,
dengan keluarnya keputusan MK No. 002/PUU-I/2003 yang telah membatalkan
khususnya pasal 28 ayat (2) UU Migas. Berdasarkan putusan ini, penentuan harga
BBM (dalam negeri) tidak boleh diserahkan kepada mekanisme harga pasar bebas (Syamsuddin
dkk., 2012).
3.2. Tujuan Regulasi
Regulasi
yang dilakukan Negara pada dasarnya adalah untuk menjamin keberlangsungan
layanan Negara pada rakyatnya, dan disisi lain rakyat memperoleh jaminan hokum
dan perlindungan atas hak-hak dari ancaman penguasa Negara, ataupun pihak-pihak
lain yang dianggap merugikan. Secara umum regulasi oleh Negara ditujukan pada
upaya-upaya sebagai berikut:
a) Adanya
jaminan kepastian hukum, bebas dari
korupsi dan mengarah pada tatakelola yang berkualitas “lead to better governance quality and less corruption” (Holtzappel
& Martin Ramstedt, 2009: 101). Menyediakan kebaikan bersama dan melindungi warga negara dari pemerintah mereka (Savas, 1982: 3).
b) Membela
masyarakat yang lemah, terutama memberi jaminan atas tercapainya pemenuhan basic needs or basic goods and service that
people need (Savas, 1982: 5) dan “specific
service commitments to improve service delivery to the poor and low income
households (Minogue & Carino, 2006: 258).
c) Partisipasi
masyarakat dalam memperkuat kapasitas Negara “state capacity”. Partisipasi di semua posisi, yang melibatkan aktor utama
dari pengambilan keputusan ekonomi, diperkirakan memerlukan peluang ideologi dan kekuasaan, karena itu menjadi masalah penting bagi para pihak dan rakyat (Evans et.all., 1989: 237)
d) Sebagai
jaminan pengukuran Kualitas regulasi :
effective, efficiency, opened, technology transform, societal transformation,
accountability.
e) Perlindungan
dan proteksi terhadap lingkungan; “the
trend toward greater energi use, the trend towards greater mobility, and
climate change” (Compston, 2009: 132)
f)
Mencegah ketimpangan “social gap”, mendistribusikan kesejahteraan melalui proses
pemerataan dan persamaan, untuk tidak menjadikan ketimpangan yang terlalu jauh
antara si kaya dan simiskin “both rich
people and poor people, who make this later argument equate equity with
equality”(Savas, 2000: 96)
g) Mengurangi
“vulnerability people” (kelompok
rentan), hal ini sangat berkaitan dengan kemampuan negara “state’s capacity dalam mengatasi penyimpangan dan kemampuan keuangan
“fiscal capabilities” dalam menangani
persoalan ekonomi (Evas et.all.,
1989:352);
h) Sebagai
langkah antisipasi terhadap globalisasi dan perubahan iklim; “to provide account of the problem of the
global order in the contemporary conjuncture (Goede, 2006: 64);
i) Mendorong
kemandirian negara dan masyarakat “self-sufficient”
serta kesejahteraan rakyat dan memiliki
“outonomous institutional”.
Pembangunan ekonomi adalah suatu kondisi untuk memperbaiki kualitas hidup;
peningkatan income perkapita, dan kesempatan kerja (Todaro, 1990: 96).
j) Mencegah
konflik sosial dan disitegrasi bangsa, ketidak nyamanan dalam memenuhi
kebutuhan dasar dapat memicu konflik horizontal. “Precondition for justice and equality in the distribution of goods and
resources as well as cultural identities” (Browning & Klimister,
2006:8).
4. Peran Pemerintah dan Distribusi Subsidi BBM
“Government is a tool that society employs to help attain these goals
and to strike the balance, even though in excess it threatens all three goals..
freedom, justice and efficiency are all essential” (Savas, 1982: 4).
Selanjutnya dalam tulisan Savas (1982: 5) menyebutkan bahwa dengan arah
privatisasi sektor publik sebagai bentuk regulasi dapat mempertimbangkan empat
hal : 1) pengurangan pengadaan atau subsidi pada pelayanan tertentu; 2) membuat
pengaturan secara lebih luas dari penyelenggaraan pelayanan dengan sedikit
campur tangan peran pemerintah; 3) pembayaran pegawai dengan biaya yang lebih
visible dan 4) menggunakan sistem kompetisi secara penuh untuk menghindari
dampak yang merugikan dari monopoli pemerintah.
Regulasi juga dapat
diarahkan pada problem penyelenggaraan layanan pada masyarakat yang semula state centre, dengan ciri negara
memiliki peran luas dalam pengaturan masyarakat “strong state” pemerintah sebagai “single regulator” dalam menentukan dan menyediakan “common good”. Kapasitas lembaga
pemerintah dapat menggunakan kewenangannya, serta secara efektif memainkan
peranan, untuk mengatur ekonomi dan interaksi politik untuk dapat memaksakan
pelaksanaan kebijakan, legalitas formal, norma sosial dan perilaku politiknya
kepada kelompok di luar mereka (Dollery and Wallis, 2001: 146). Dan pada
gilirannya terjadi perubahan bagaimana bola bergulir dari state centre ke “society
centre” , dengan karakteristik masyarakat secara individual menentukan dan
menyusun tujuan secara kolektif apa yang disebut sebagai “common good” melalui self-regulatory”. Baik regulasi melalui state maupun society semua diarahkan pada upaya pencapaian kebutuhan publik yang
berkualitas dan efisiensi, seperti yang dikemukakan Alan Norton sebagai berikut
“ensuring as good a level of quality and
efficiency as possible within the resources contributed” (Norton, 1997:
81).
Artinya, kita memang perlu mendisiplinkan konsumsi BBM Indonesia.
Pertanyaannya, betulkah kenaikan harga BBM akan mendisiplinkan pemborosan BBM?
Diperlukan ketegasan pemerintah untuk dapat memenuhi yang yang disebut oleh “political order” terdapat tiga komponen
dalam political order modern adalah “a strong and capale state, the state’s
subordination to rule of law, and government accountibility to all citizens (Fukuyama: 2011). Dalam
penegakan sebuah kebijakan pemerintah harus memiliki kekuatan dan kemampuan,
serta keberanian untuk menegakan hokum agar dapat menjamin kepastian hokum atas
berlakunya kebijakan. Disamping itu pemerintah juga harus menunjukkan
akuntabilitas publik pada semua warga Negara. Mari kita lihat data-data di
Tabel 2 tentang konsumsi BBM bersubsidi di Indonesia 2005-2010. Di sini, yang
dimasukkan sebagai BBM bersubsidi hanyalah mogas (motor gasoline atau
bensin), solar dan minyak tanah, karena ketiga jenis BBM itulah yang sering
disebutkan dalam berbagai peraturan negara tentang penetapan harga eceran BBM
(subsidi). Begitu pula, di sini diasumsikan bahwa jumlah total dari ketiga
jenis BBM ini disubsidi.
Pada bulan Mei 2008, pemerintah menaikkan harga minyak
tanah dari Rp2.000 menjadi Rp2.500, harga premium dinaikkan dari Rp4.500
menjadi Rp6.000, dan harga minyak solar dinaikkan dari Rp4.300 menjadi Rp5.500.
Tapi dari data di Tabel 2, kita lihat, tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam konsumsi BBM bersubsidi antara tahun 2008 dengan tahun-tahun lainnya.
Bahkan konsumsi mogas dan solar di tahun 2008 lebih besar daripada tahun 2006
dan 2007. Padahal pada tahun 2006 dan 2007, harga premium masih Rp4.500, dan
harga minyak solar masih Rp4.300.
5. BBM sebagai “basic need” ? sebuah Kajian Ekonomi Politik
Dalam hal penentuan
kebutuhan dasar menurut hemat penulis BBM mungkin bagi sebagian orang adalah
bagian dari kebutuhan dasar yang paling dasar, dibanding dengan yang lain,
semisal pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan primer lainnya. Mengapa demikian?
mencapai kebutuhan dasar lain diperlukan adanya bahan bakar minyak, misalnya
pendidikan untuk sampai ke sekolah perlu transfortasi yang melibatkan
penggunaan minyak, untuk dapat mengkonsumsi bahan pangan perlu ke pasar, perlu
memasak, dan untuk mendapatkan air bersih perlu dimasak, bila tempatnya jauh
perlu transfortasi. Akhirnya sebagian dari kehidupan manusia memerlukan BBM.
Dengan demikian BBM adalah sarana untuk mencapai basic need yang lain (syarat dasar).
Dengan demikian
pengaturan atau regulasi diperlukan dalam hal ini adalah untuk mencapai: a) extent the basic needs; b) attainment of basic needs; c) achievement
quality human life : life expectancy, infant mortality, literacy and reduce
risk of poverty; dan d) bring national prosperity. Konsep regulasi Negara 'telah muncul untuk menggambarkan kegiatan negara yang telah bergeser fokusnya
dari stabilisasi ekonomi makro
dan kebijakan redistributif terhadap peningkatan efisiensi ekonomi dalam hal kegagalan pasar, sering mengembangkan level
lembaga pengambil
keputusan ditambahkan dari waktu ke waktu (kirkpstrick & Parker, 2007: 75)
Berbagai pandangan
pelaksanaan subsidi BBM. Government
intervention toward supply and demand of the basic needs” ini adalah spirit
dari sebuah regulasi pemerintah. Akan tetapi bagaimana kalau regulasi tidak
disetujui oleh masyarakat yang akan dikenai dampak sebuah regulasi. Pemutusan
subsidi BBM menimbulkan pandangan pro dan kontra, baik yang benar-benar
berdasarkan analisis ekonomi maupun politik, atau sekedar pendapat tanpa
rasionalitas faktual dan tidak lebih dari suara oposisi yang tidak berkualitas.
Pendekatan proses regulasi yang menekankan pada rembesan ke bawah melalui “trickledown
effect”, implies positive spillover
effects percolating beyong the confines of the original stimulus” (Persky,
et.all.,2004: 5). Rembesan ke bawah ini, dimana diharapkan secara perlahan
memberi dampak positif kepada rakyat menjadi dipertanyakan oleh banyak orang,
disebabkan berbagai asumsi dan opini yang berkembang dan membingungkan bagi
masyarakat kelas bawah. Rupanya masing-masing pakar, tehnokrat dan pejabat
publikpun memiliki standar yang berbeda dalam memberikan analisis terhadap
pencabutan subsidi BBM dan pengaruhnya terhadap anggaran negara serta
kesejahteraan masyarakat.
Berikut ini
disampaikan beberapa landasan berpikir pelaksanaan atau pencabutan subsidi BBM:
Pro Pencabutan Subsidi BBM:
a)
Pencabutan subsidi tujuan utama adalah mengurangi
tekanan finansial akibat kenaikan minyak didunia, dimana kebutuhan dalam negeri
lebih besar daripada produksi minyak dalam negeri, sehingga negara membutuhkan
impor minyak;
b)
Subsidi selama ini dinikmati oleh orang kaya seperti
pengusaha, dan pemilik mobil mewah (orang-orang golongan menengah ke atas);
c)
Selisih kenaikan harga BBM dapat dikonvensasikan pada
sektor lain, yang langsung memberi dampak pada masyarakat golongan ekonomi
lemah, seperti BLS (bantuan langsung sementara), pembangunan infrastruktur,
biaya kesehatan, pendidikan dan lain-lain);
d)
Dapat terjadi penghematan penggunaan BBM, karena harga
mahal maka rakyat dapat melakukan konversi ke sumber energi lain atau menghemat
penggunaan BBM dengan melakukan pengurangan penggunaan pada hal-hal yang tidak penting
dan terkesan boros;
e)
Menambah anggaran negara untuk keperluan cadangan dan
investasi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi; dan
f)
Konskwensi bila subsidi tidak dicabut memberi dampak
pada anggaran negara yang tidak akan mampu menopang peningkatan kesejahteraan
dan pertumbuhan ekonomi; melemahnya pembangunan infrastruktur dan basic needs masyarakat.
Kelompok Oposisi (kontra kenaikan BBM)
a)
Subsidi dicabut justru mempercepat mempermiskinkan
masyarakat, karena yang menikmati subsidi selama ini justru sebagian besar
adalah penduduk miskin;
b)
Kontrol terhadap pelaksanaan konvensasi subsidi berupa
BLT (bantuan langsung tunai) tidak memadai dan dianggap tidak tepat sasaran;
c)
Pengawasan minyak bersubsidi tidak maksimal, cenderung
mendorong terjadinya penyimpangan seperti penerapan BBM non subsidi pada
kendaraan mewah tidak ketat, penyelundupan dan ekspor BBM bersubsidi oleh oknum
tidak bertanggungjawab;
d)
Selisih BBM bersubsidi dicurigai sebagian besar
dipergunakan untuk belanja pegawai dan terjadinya korupsi dikalangan para
penyelenggara negara;
e)
Penempatan patokan harga BBM sesuai dengan harga pasar
bertentangan dengan UU 1945 pasal 33 dan Putusan MK terhadap gugatan UU 22
tahun 2001 tentang Minyak Bumi.
6. Rekomendasi
Pada konferensi Dunia Biomassa Energi dan Perubahan Cauaca yang kedua,
tahun 2003, di Roma, Italia, Volkswagon-Exxon Mobile menyebutkan bahwa
berdasarkan jenis bahan bakar dan otomotif yang akan mendominasi pasar, dunia
akan dihadapkan pada empat generasi bahan bakar transfortasi, yaitu:
1)
Generasi pertama, merupakan generasi bahan bakar minyak
(BBM) berbasis petroleum (minyak bumi) yang diperkirakan akan mendominasi pasar
hingga tahun 2010;
2)
Generasi kedua, merupakan generasi BBM mix atau
campuran antara BBM terbarukan dan BBM petroleum yang saat ini telah banyak
digunakan, dan diperkirakan akan bertahan hingga tahun 2050. Masa ini ditandai
dengan komersialisasi bio-diesel (pengganti petro-diesel) dan bio-ethanol
(pengganti minyak bensin);
3)
Generasi ketiga, merupakan generasi BBM terbarukan (advance synthetic fuel), seperti Flash
Pyrolysis Oil (bio-oil), Fischer Tropsch (FT) Metahnol, dan Hydro-Thermal
Upgrading Oil (HTU). Teknologi pembuatannya lebih sulit dan memakan biaya
produksi yang tinggi. Produk ini diperkirakan baru akan ekonomis pada kisaran
2050-2100.
4)
Generasi keempat, merupakan generasi hydrogen. Pada
tahun 2010, setelah minyak bumi benar-benar habis, hydrogen diprediksi akan
menjadi handalan, menigingat bahan ini memiliki nilai kalori yang tertinggi
(143 MJ/Kg) diantara sumber energi lainnya. Nilai kalroi satu liter setara
dengan empat kali nilai kalori lima liter bensin atau empat liter diesel
(Mahfud dalam Ishom, Faizul, dkk., edt., 2008: 55-56).
Dari gambaran di atas
bahwa ada sumber-sumber energi yang akan mengalami penyusutan dan memerlukan
kearifan dalam menggunakannya. Penghematan energi dan pemanfaatan energi dengan
orientasi produktifitas sangat penting untuk diupayakan, baik yang dilakukan
melalui regulasi negara, dalam hal penerapan regulasi negara harus kuat, dan
memiliki legitimasi di mata masyarakat. Disisi lain society juga harus mengatur
dirinya dalam menggunkan energi dan memiliki kualitas untuk melakukan terobosan
penggunaan energi lain yang belum banyak disentuh di negara ini. Konversi minyak
ke sumber energi lain: a) minyak dengan gas; b) minyak ke batubara; c) minyak ke
tenaga matahari; d) panas bumi dan dari biotechnology atau bio-diesel.
Gambar diambil dari (Burkea
& Bonham, 2010: 278).
Melakukan perubahan sistem
transfortasi “change in public transport
mode share” (Stone & Mees, 2010: 266), dari
penggunaan kendaraan bermotor dengan sepeda, seperti regulasi yang dilakukan di
Universitas Gadjah Mada dan regulasi pemerintah US dan Australia, “public transport systems will change under
oil scarcity with a likely focus on public transport networking in cities”
(Burkea & Bonham, 2010: 277).
Kesimpulan
Bahan bakar minyak
dapat dikatakan sepadan dan menjadi kebutuhan dasar dalam masyarakat Indonesia,
apabila terjadi ganngguan dalam pemenuhannya, maka akan terjadi konflik dan penurunan
pertumbuhan ekonomi, dan menimbulkan multiflier efek, serta berpengaruh efektif
pada sendi-densi kehidupan yang lain.
Penggunaan BBM secara
berlebihan dapat mempercepat terjadinya krisis energi, dan memberi dampak buruk
pada lingkungan oleh sebab itu pemerintah bersama-sama masyarakat perlu
melakukan pengaturan atau regulasi penggunaan upaya penggunaan energi secara
bijaksana dan berkelanjutan. Disamping itu upaya pengunaan sumber energi lain
selain BBM oleh masyarakat dan pemerintah dapat didorong dan dimaksimalkan.
Daftar Pustaka
Aldilah, Ridwan & Ratna Nataliani, 2010. Kisruh Migas Pasca
UU Migas No. 22 tahun 2001. http://majalahenergi.com/akademisi/kisruh-migas-pasca-uu-migas-no-22-tahun-2001
Bevir, Mark, eds., 2011. Governance.
London: Sage Publications.
Browning, Gary & Andrew
Kilmister, 2006. Critical and Post
Critical Political Economy. Palgrave Macmillan, New York
Burke, Matthew Ian &
Jenifer Bonham, 2010. Rethinking
Oil Depletion: What Role Can Cycling Really Play In Dispersed Cities?.
Routlegde, Taylor & Francis Group.
Buwono, Sultan Hamengku, 2007. Merajut Kembali Ke Indonesiaan Kita. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Compton, Hugh, 2009. Policy Networks and Policy Change.
Palgrave Macmillan, New York
Dollery, Brian E & Joe L
Wallis, 2001. The Political Economy of
Local Government. Edward Elgar
Publishing, Massachusetts
Evans, Peter B. et all., eds., 1989. Bringing the State Back in. Cambridge
University Press. New York
Ferranti, David de, et al., 2009. how to improve governance: A New
Framework for Analysis and Action. Washington,
D.C. : brookings institution press
Fukuyama, Francis,
2011. Origins of Political Order. Profile Books LTD, London
Goede, Marieke De, 2006. International Political Economy and
PostStructural Politics. Palgrave, Macmillan
Holtzappel, Coen JG &
Martin Ramstedt, 2009. Decentralization
and Regional Autonomy in Indonesia: Implementation and Challenges. ISEAS, Singapore
Ishom, Faizul, dkk., edt., 2008. BBN: Bahan Bakar Nabati. Penebar
Swadaya, Bogor
Kirkpatrick, Colin & David
Parker, Eds., 2007. Regulatory Impact Assesment: Toward Better Regulation?.
Edward Elgar, UK Northampton
Minogue, Martin & Ledvina
Carino, eds., 2006. Regulatory Governance In Developing
Countries. Edward Elgar, UK Northamton
Norton, Alan, 1997. International Handbook of Local and Regional
Governament. Edward Elgar. Cheltenham
Persky, Joseph, et.all.,2004. Does “trickle down” work:
Economic Development Strategies and Job Chains In Local Labor Market. WE.
Upjohn Institue For Employment Research, Michigan.
Savas, E.S, 2000. Privatization
and Public-Private Partnerships. Chatam House Publishers, New Jersey
Savas, ES, 1982. Privatizing
the Public Sector. Chatam House Publishers, New Jersey
Steelea, Wendy Elizabeth & Brendan Gleeson, 2010. “Mind
the governance gap: oil vulnerability and urban resilience in Australian cities”.
In Planning Institute Australia, Vol.
47, No. 4, December 2010, 302_310. Routledge, Taylor & Francis Group.
Stone, John & Paul
Mees, 2010. Planning Public Transport
Networks In The Post-Petroleum Era. Routledge, Taylor & Francis Group.
Australian Planner Vol. 47, No. 4, December 2010, 263_271
Sudirman, Urip,2006.
Metode Tepat Menghemat Bahan Bakar (Bensin) Mobil. PT Kawan Pustaka,
Jakarta
Supriatna, dkk., 2005. Ilmu Pengetahuan Sosial (Geografi, Sejarah,
Sosiolgi, Ekonomi. Grafindo Media Pratama.
Syamsuddin, Din, dkk., 2012. Puluhan Tokoh Dan Ormas
‘Gugat’ UU Migas. Kamis, 29 March 2012 http://www.hukumonline.com/berita/baca/
lt4f74428c874eb/
Todaro, Michael P.,1990. Economics for a Developing World: An Introduction
to Priciples, Problems and Policies for Development. Logman, London
Vassiliou, 2009. The A to Z of The Petroleum Industry. Scarecrow
Press, Boulevard.