BAGIAN II
KOMPLIK KEPENTINGAN,
KEKUASAAN DAN EKONOMI POLITIK
OLIGARKI DAN
KAPITALISME KASUS INDONESIA
Dari Buku “Dinamika
Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia
Pasca – Soeharto”
By Vedi R Hadiz
Di resume oleh : Gede
Sandiasa, S.Sos, M.Si
PENGANTAR
Perkembangan kapitalisme industri modern di segenap
penjuru Asia sepanjang empat dekade terakhir ini berlangsung di bawah rezim politik
dan ekonomi yang bersifat intervensionis, otoritarian, dan predatoris. Umumnya,
bagi kaum neoliberal maupun penganut teori Marxis, Sejalan yang tampaknya
merupakan penyimpangan terhadap teori konvergensi liberal itu dipandang sebagai
suatu periode transisi, di mana negara bertindak sebagai wakil dan pelindung
dari civil society / kelas menengah /
kaum borjuis yang masih dalam proses inkubasi. Dengan kata lain, periode ini
merupakan proses industrialisasi terlambat yang membutuhkan perlindungan dan
subsidi negara di bidang ekonomi. Padahal, Bank Dunia mengatakan bahwa tugas
Negara-negara developmentalis hanyalah sekadar memfasilitasi pasar dan
mengantisipasi keputusan-keputusan pasar. Tapi ada pendapat lain yang
menyatakan bahwa kapitalisme modern pada dasarnya dapat berlangsung di
dalam
berbagai kerangka institusional-mengingat, ‘kapitalisme Asia' bukan sekadar
suatu tahap transisi, melainkan 'dari bentuk lain kapitalisme itu sendiri. Pandangan
ini tentu saja disukai oleh kebanyakan pemimpin Negara-negara industri Asia
yang berpendapat bahwa perekonomian yang dibangun melalui negara yang kuat,
berdisiplin sosial, serta mengacu pada nilai-nilai kolektif tidak saja
merupakan hal yang mungkin dilakukan, tetapi juga merupakan sebuah pilihan yang
justru lebih baik bagi pertumbuhan dan kekokohan negara, dibandingkan format masyarakat
demokrasi liberal yang dianggap sedang mengalami kemerosotan.
Bagi kebanyakan kaum neoliberal, krisis ini membuktikan
adanya inefisiensi dan disfungsi yang inheren dalam perekonomian yang
didominasi oleh Negara-negara yang terlalu intervensionis. Faktor-faktor ini menciptakan
kronis pemburu rente, yang mendistorsi efisiensi penggunaan alokasi sumber
daya
dan menghasilkan suatu rezim yang diberati utang dan investasi berlebihan (over-investment.) Situasi ini pada
gilirannya memancing masuknya para spekulan pasar modal. Krisis ini merupakan
sebuah peringatan, bahwa bangsa-bangsa Asia tidak bisa menahan masuknya gelombang
pasar liberal yang bersifat pasti. Michael Camdessus, negeri-negeri ini tidak
dapat menikmati keuntungan dari pasar modal grobal tanpa memegang teguh
disiplin pasareng.
Peristiwa tahun 1997 dan 1998 merupakan konsekuensi dari
kerapuhan dan kepanikan finansial bukan
disebabkan karena faktor internal, akan tetapi mereka mengkritik IMF, dan
mengganggu stabilitas melalui kebijakan-kebijakan yang tidak tepat, terutama
terutama melalui pemaksaan pengetatan fiscal. Namun bagi ekonom neo-klasik
maupun ilmuwan politik neo-modernis, jatuhnya Indonesia ke dalam chaos lebih
disebabkan oleh respons kebijakan yang tidak tepat. Kegagalan memelihara
stabilitas politik dan ketertiban di masa terjadinya krisis, membuat
investor-investor asing lari keluar. Tidak ada keraguan lagi bahwa krisis
ekonomi di Indonesia telah dipercepat oleh spekulasi, kepanikan dan pelarian
modal, ke dalam sistem pasa keuangan global yang sangat rapuh dan mobil.
Pemain dan manajer pasar modal menyuntikkan dana ke dalam
proyek-proyek acapkali bergantung pada dukungan politik ketimbang kelayakan
komersial. Menurut Jeffrey Winters, ketika krisis nilai tukar terjadi, berbagai
sumber modal finansial global baru yang sangat mobil-yang merasa tidak
berkewajiban untuk menyokong kediktatoran yang sedang sakit itu dengan cepat
berubah haluan dan senang hati angkat kaki sesegera mungkin. Ketika modal lari
pemerintah tidak saja gagal untuk mempertahankan batas patokan nilai tukar,
posisinya pun tidak lagi memungkinkan untuk mengintervensi atas nama
perusahaan-perusahaan dan badan-badan pemerintah yang sedang menggelepar.
Kontradiksi-kontradiksi di dalam rezim ekonomi yang
disertai ketegangan politik mengalami krisis utang, perbankan dan berbagai dunia
usaha mengalami krisis dan hanya bisa disokong melalui intervensi politik, dan
pemerintah dan berlanjut aliran masuk modal pinjaman jangka pendek. Terjadi
pengaturan-pengaturan keuangan dan politik yang tidak lagi memungkinkan
melanjutkan sistem kapitalisme politik yang tidak kenal batas yang telah menciptakan
pertumbuhan cepat dan menyediakan semen perekat bagi hegemoni politik yang
ternyata tidak kokoh. Begitu aliran pinjaman jangka pendek terhenti dan
pemerintah tidak mampu lagi mengeruk dari klien-klien dunia usaha melalui
kekebalan hukumnya, maka sistem ekonomi yang lemah dan rapuh itupun telanjang
tanpa kekuatan.
Kendatipun IMF mampu memaksakan kesepakatan-kesepakatan
untuk melakukan reformasi terhadap perekonomian dan berbagai lembaga
pemerintahan, namun para pembaharu menghadapi resistensi keras dalam upaya
mereka untuk menutup bank-bank yang tidak likwid, termasuk memaksa
kelompok-kelompok bisnis yang kuat untuk menyerahkan asset-asetnya. Reformasi
gagal untuk menghasilkan revolusi liberal, tahun 1965, dilucuti kapitalisme
dibawah komando Soekarno dan dibukanya Indonesia bagi investasi dan bantuan
asing secara ironis telah mengkonsulidasikan otoritarisme politik dan
kapitalisme Negara. Program-program reformasi dibidang keuangan dan rezim-rezim
perdagangan serta integrasi yang lebih mendalam dengan pasar-pasar keuangan
global yang menyusul anjloknya harga minyak tahun 1980-an, menghasilkan
transformasi menuju sistem pasar liberal. Keadaan ini justru menimbulkan
pergeseran dari monopoli publik kepada monopoli swasta dan pengendalian
kekuasaan Negara oleh kepentingan koalisi-koalisi oligarki yang begitu kokoh:
suatu bentuk kapitalisme raja rampok yang tidak dibatasi hukum.
Dalam pandangan neoliberal, jalan menuju ekonomi pasar,
yang dipandang sebagai suatu entitas abstrak yang digerakkan oleh hokum
efisiensi yang berifat internal dan universal, secara terus menerus diganggu
oleh para pejabat-pejabat predatoris dan koalisi-koalisi pemburu rente yang
eksistennya tergantung pada operasi potong kompas mereka yang begitu bebas. Kaum
liberal mengalami kesulitan dalam mengenali musuh-musuhnya serta siapa yang
menentukan dan menggerakkan agenda reformasi. Secara ironis dan tidak
terelakkan, mereka tiba pada kesimpulan bahwa Negara harus memainkan peranan.
Dalam kasus Indonesia para ekonom neoklasik dan
teoritisasi neomodernis melihat rezim Soeharto dalam konteks konflik antara
teknokrat-teknokrat rasional dan koalisi-koalisi predatoris. selanjutnya
teknokrat-teknokrat muncul sebagai pahlawan yang acapkali memegang otoritas di
dalam masyarakat dan pemerintahan, menyandarkan diri pada goncangan-goncangan
ekonomi untuk memaksa para pemimpin politik agar menerima
rekomendasi-rekomendasi mereka guna melakukan penyesuaian struktural. Munculnya
koalisi antara Negara dan klas dominan, menciptakan hubungan yang terstruktur
dengan para investor dan pemberi pinjaman internasional, pengaturan-pengaturan
otoritarian dan predatoris terbukti sangat kompetatibel dengan modal global.
Bangkitnya suatu koalisis yang didasarkan kepada keluarga-keluarga bisnis dan
politik serta perusahaan-perusahaan konglomerat besar yang muncul dari aparat
negaa, memiliki kemampuan merambah ke pasar modal. Dengan mengambil alih
kepemilikan Negara, oligarki-oligarki publik dan swasta baru ini secara efektif
menciptakan suatu sistem ekonomi yang dibebani pinjaman, investasi berlebihan
dan tidak dibatasi hukum.
Rezim yang mendominasi kehidupan politik Indonesia sejak
tahun 1965, dipahami dalam sudut pandang ini bukan sebagai manipestasi
pergulatan antara ketertiban dan ketidak tertiban dan bukan pula antara
rasionalitas universal dan kepentingan pribadi, melainkan manifestasi yang
mempresentasikan bangkitnya suatu koalisi kompleks antara Negara dan kekuasaan
kelas dominan. Koalisi ini mampu membangun kekuasaan di dalam perekonomian
kapitalis yang sedang berekspansi melalui pendapatan minyak yang berlimpah dan
suatu hubungan sangat terstruktur dengan para investor dan pemberi pinjaman
internasional. Pengaturan-pengaturan otoritarian dan predatoris terbukti sangat
kompatibel dengan modal global.
Tercerai berainya Indonesia sesungguhnya merupakan suatu
metamorphosis kekuasaan yang bersifat mendasar pada decade 1970-an dan 1980-an
yang memperlihatkan bangkitnya suatu koalisi yang didasarkan kepada
keluarga-keluarga bisnis dan politik perusahaan-perusahaan konglomerat besar
yang muncul dari aparat Negara itu sendiri, yang memiliki kemampuan merambah ke
pasar modal global baru yang sangat mobil. Dengan mengambil alih kepemilikan
Negara, oligarki-oligarki publik dan swasta baru ini secara efektif menciptakan
suatu sistem ekonomi yang dibebani penjaman (over borrowed), investasi berlebihan (Over invested) dan tidak dibatasi hukum
Seiring dengan perubahan sistem pemerintahan dari
sentralis ke desentralisasi, memungkinkan terbentuknya koalisi-koalisi
berdasarkan agenda neoliberal, dalam kontek runtuhnya otoritas sentral Negara,
berbagai agenda yang berlawanan kini saling bersaing, terdapat peluang-peluang
bagi kepentingan serta kekuatan populis dan lokal untuk memapankan diri dalam
spectrum kekuasaan, khususnya dalam konteks desentralisasi. Krisis Indonesia
harus dipahami dalam konteks pertarungan politik yang berkepanjangan untuk
membentuk dan mendominasi agenda politik dan ekonomi. Paham
nasionalisme-ekonomi Negara, kapitalisme politik predatoris, populisme
reaksioner, dan radikal saling berlomba dengan liberalism.
KAPITALISME
NEGARA DAN PEMERINTAHAN
OTORITARIAN: MIMPI BURUK OLIGARKI
Perekonomian lama telah
mengalami pelapukan pada decade 1950-an, para broker kekuasaan politik dan
ekonomi baru Indonesia terjun ke dalam suatu pertarungan untuk memberi bentuk
rezim-rezim politik dan ekonomi republik ini. Pada pasca colonial Indonesia liberalisme
di dalam perkembangan mengalami hambatan, yang pada akhirnya yang berlaku adalah
suatu perpaduan kompleks antara nasionalisme ekonomi yang bersifat Negara
sentris dan oligarki predatoris yang mengumpul disekitar Negara beserta korps
birokrat-politisnya.
1. Pemerintahan
Otoritarian
Pada
akhir 1950-an Soekarno merangkul nasionalisme yang melayani
kepentingan-kepentingan kelompok yang berakar secara mendalam dan kongkret. Meningkatnya
kontrol kehidupan ekonomi oleh Negara dan para pejabatnya di legitimasi dengan
prinsip bahwa Negara memiliki suatu peran ekonomi yang sah dalam menjamin kepentingan
nasional dan kekuatan-kekuatan pasar seyogyanya mengalah pada tujuan-tujuan
sosial yang lebih besar. Posisi Negara sebagai penjaga kepentingan umum
diseluruh masyarakat akhirnya secara progresif dilembagakan dalam suatu sistem
otoritarisme korporatis, yang merangkul semua aktivitas politik di dalam
lembaga-lembaga Negara yang disepakati dan menolak legitimasi dari oposisi.
Menjelasng pertengahan 1960-an perekonomian agricultural
ekspor warisan colonial mengalami keruntuhan, dan menyisakan kepada Indonesia
suatu infrastruktur yang lapuk, utang yang menggunung, inflasi besar-besaran
dan tanpa sumber modal investasi yang nyata. Penguasan baru Indoensia
mencengkramkan kekuasaannya atas politik dan ekonomi dengan momen yang penting
penandatanganan kesepakatan dengan kekuatan-keuatan barat untuk menyediakan
aliran bantuan luar negeri dan peluncuran reformasi yang memungkikan investasi
asing masuk ke bidang ekplorasi sumberdaya alam dan sektor manufaktur,
substitusi impor yang sedang tumbuh. Di
bidang politik, Soeharto memperluas dan menyaring kembali prinsip-prinsip organik dan lembaga
lembaga korporatis yang didirikan di era Soekarno. Para pejabat negara
memaksakan otoritas mereka tidak hanya melalui lembaga-lembaga koersif aparat
keamanan dan kontrol yang meluas melalui birokrasi negara, melainkan juga lewat
sederetan organisasi massa utama dan partai politik pemerintah, Golkar. Melaiui
Golkar, Soeharto dan militer mampu mengendalikan dan mendominasi pemilihan umum
dan menyediakan suatu saluran bagi rekrutmen bagi para pialang politik dan
pengejar karir dari luar militer dan birokrasi negara. Disektor perbankan
pemerintah memperkenalkan plafon kredit dan berbagai program pinjaman
bersubsidi, yang secara siginifikan meningkatkan kontrolnya terhadap alokasi
kredit.
2. Bibit-bibit
Oligarki
JenderalJenderal
dan para menteri era Soekarno dan era awal Soeharto melalui klien-klien bisnis
melakukan kontrol terhadap lembaga-lembaga ‘pemegang kunci gerbang’ seperti
departemen kehutanan, departemen perdagangan, Bulog, Pertamina, para birokrat
politik berkuasa dapat membagikan-bagikan lisensi perdagangan, kredit bank negara,
konsensi-konsensi kehutanan dan kontrak-kontrak pasokan. Hubungan tersebut
bersifat simbiosis, dimana akses kepada perekonomian ditukar dengan dana-dana
yang digunakan untuk tujuan-tujuan politik atau pribadi dari para penjaga pintu
gerbang Soeharto.
Dalam
kondisi demikian yayasan-yayasan banyak didirikan untuk kepentingan melindungi
dan menyediakan sumber dana untuk kepentingan anggaran Negara. Yayasan ini
merupakan persilangan atau gabungan antara sektor publik dan privat:
kepemilikan Negara melalui para pejabat. Tahun 1980-an para penjaga ‘pintu
gerbang’ Soeharto mulai membangun kerajaan-kerajaan bisnis, dan beraliansi
dengan klien-klien bisnis Cina. Mereka dilindungi dari persaingan internasional
melalui kebijakan-kebijakan restriksi perdagangan, lisensi dan investasi.
KEJAYAAN
OLIGARKI
Sejak
tahun 1986 dan selanjutnya, para teknokrat Indonesia berhasil membuat reformasi
kebijakan, dengan tujuan memacu sektor manufaktur ekspor yang sedang tumbuh,
serangkaian monopoli impor dicabut, termasuk yang paling menguntungkan di
bidang plastic dan baja dipegang oleh tokoh-tokoh seperti Bob Hasan dan Liem
Sio Liong. Demikian juga sektor perbankan pemerintah melakukan reformasi sejak tahun
1983 dan 1988 di dengan menghapuskan kontrol
terhadap suku bunga domistik dan membuka pintu bagi banjirnya bank-bank swasta.
Monopoli di sektor publik dalam bidang pembangkit daya, pelabuhan dan jalan
raya, serta telekomonikasi dan televise yang sejak lama dianggap sensitif
diahpuskan. Pemekaran bisnis tidak berlangsung di dalam pasar liberal yang
didefiniskan oleh hokum dan peraturan.
Deregulasi
tersebut terkonsentrasi pada sektor-sektor barang perdagangan, sementara perusahaan-perusahaan
konglomerat tumbuh subur di pasar domistik, berupa kartel-kartel perdagangan
dan dilindungi oleh kontrol harga dan rezim lisensi yang bersifat eksklusif.
Monopoli terdapat ditangan swasta yang terus mendapat perlindungan dari Negara
otoritarian, akses kepada dunia bisnis tetap berada ditangan lapisan-lapisan
para penjaga gerbang di dalam pemerintahan dan sistem perbankan.
1. Mengamankan
Sektor Ekonomi
Sektor-sektor
ekonomi penting tetap kebal dari deregulasi, sektor ini adalah dimana para konglomerat
dan keluarga-keluarga bisnis politis melakukan operasi yang paling
menguntungkan. Kartel-kartel perdagangan domistik terus bertahan dibidang
industry semen, kertas, kayu lapis dan pupuk. Apkindo, suatu asosiasi yang
diwajibkan bagi para produsen kayu lapis yang diketuai oleh Bob Hasan, terus
tumbuh subur dengan kekuasaan untuk menetapkan harga dan kontrol, harga kuota
ekspor, sementara Liem Sioe Liong mempertahankan sebuah monopoli menguntungkan
dibidang penggilingan tepung.
Berikutnya
sektor perbankan telah dideregulasi
memungkinkan perusahaan-perusahaan konglomerat dan keluarga-keluarga
bisnis-politik untuk mendirikan bank dengan modal relative kecil dan dengan
mengabaikan batasan legal limits dan
aturan-aturan lainnya. Bank-bank ini beroperasi sebagai sapi perah dana tunai
pribadi bagi perusahaan-perusahaan lain di dalam kelompok yang sama, dan kepada
perusahaan-perusahaan ini paket-paket pinjaman ditujukan. Dalam posisi demikian monopoli publik menjadi
oligopoli swasta yang disponsori Negara, dan keluarga Soeharto menjadi pemain
utama. Perekonomian tumbuh secara meyakinkan bersamaan dengan meningkatnya
beban utang luar negeri dan tingkat kredit macet yang terjadi di bank-bank
domistik.
2. Penguasaan
Kendali Negara
Dari
Koalisi-Koalisi baru antara oligarki ddan publik ini tidak hanya menerapkan
kekuasaan terhadap Negara dan para pejabatnya, melainkan juga mengakkan
dominasi politk yang lebih luas sebagai bagian
dari suatu koalisi kekuasaan yang dibangun di sekitar keluarga Soeharto,
ini artinya otoritas Negara semakin dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan
komersial dari koalisi-koalisi bisnis politik itu ketimbang oleh
kepentingan-kepentingan kelembagaan dari para pejabat Negara atau kepada
tujuan-tujuan liberal. Gambaran tahun 1990-an membuktikan keseluruhan dari
kolusi antara para pejabat, peminjam, dan patron-patron politik yang berkuasa
dalam alokasi kredit dari bank-bank pemerintah.
BBPC
bentuk monopoli tata niaga cengkeh yang dikendalikan oleh Tommy Soeharto
menghadapi kesulitan, masuk dalam suatu spiral perseteruan yang makin mendalam
dengan para produsen cengkeh maupun pabrik-pabrik rokok yang menjadi korban
utama. Menurut pengkritik liberal dikalangan klas menengah perkotaan Indonesia
yang sedang tumbuh dan di bank dunia, kemunculan konglomerasi di Indonesia
bukan melalui kompetisi pasar terbuka, melainkan sebagai hasil korupsi; kolusi
dan nepotisme. Ini bukan saja tidak efisien, melainkan juga terkonsentrasi
hanya disektor-sektor barang non perdagangan yang diproteksi, tidak menambah manfaat
pada daya saing Indonesia secara global. Dalam kondisi keterpurukan Soeharto
terpaksan bergerak, secara terbuka membedakan antara kebijakan-kebijakannya
dengan liberalism persaingan bebas dan menunjukkan langkah-langkah yang telah
diambil selama bertahun-tahun dalam mengurangi kemiskinan.
3. Kemenangan
Politis: Pergulatan-Pergulatan di dalam Negara
Liberalisasi ekonomi di Indonesia tidak dibarengi dengan
demokratisasi politik. Ia justru diikuti dengan penyelamatan dan penataan
kembaii kerangka ororitarian korporatis yang ada, demi kepentingan koalisi para
birokrat-politik yang berkuasa dan keluarga-keluarganya serta
perusahaan-perusahaan konglomerat. Kerangka otoritarian itu sendiri awalnya
dikonsolidasikan tahun 1973, ketika sederetan partai-partai yang saling
bersaing dipaksa untuk berfusi menjadi hanya dua kelompok, yakni PDI (Partai Demokrasi
Indonesia) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Partai-partai ini adalah kendaraan resmi
masing-masing untuk kelompok nasionalis, Kristen, dan Sosialis serta untuk
berbagai aliran Islam yang secara tradisional bersifat antagonis. Kedua entitas
ini selalu memainkan peran subordinat terhadap Golkar yang pada praktiknya
adalah partainya pemerintah. Pada tahun itu pula, organisasi-organisasi
korporatis yang didominasi negara didirikan daiam rangka 'mewakili' berbagai
kelompok civil society, seperti para
pekerja, petani, dan pemuda. Namun dalam kenyataannya, upaya tersebut dilakukan
untuk memfasilitasi kontrol negara dan mencegah pengorganisasian mereka secara
independen.
Tujuan jangka pendek koatrisi yang muncul pada tahun
1980-an adalah untuk mengendalikan negara demi tujuan untuk membangun dan
menjaga kemakmuran pribadi kelompok-kelompok.
Namun pertama-tama ia harus mengendalikan kelompok militer dan
birokrat-birokrat sipil untuk tunduk pada kemauan mereka, dan agar mendahulukan
loyalitas kepada keluarga-keluarga kuat ini ketimbang loyalitas kepada
lembaga-lembaga negara. Ini adalah upaya untuk menjamin bahwa monopoli-monopoli
negara dibagikan ke pihak yang tepat dan untuk melindungi
kepentingan-kepentingan oligarkis. Kedua, civil
society harus tetap dilumpuhkan dan tidak terorganisasi, Akan tetapi upaya
semacam ini menjadi rumit sehubungan dengan berkembangnya kelas menengah
terdidik dan dengan meluasnya kelas pekerja perkotaan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa koalisi-koalisi
oligarkis baru ini sesungguhnya
membangun suatu cangkang politik (political
shell) baru bagi diri mereka pada era 1980-an dengan membagi-bagikan
kekuasaan Negara tanpa mendemokrasikannya. Perseteruan antara para pejabat
militer dan partai yang dikendalikan melalui pemerintahan Soeharto terus
berlangsung. Isu politik berduri (thorny)
tentang suksesi telah memberikan dimensi lain bagi konplik antara militer
dan Soeharto. Masalah kritis yang dihadapi generasi militer dan birokrat sipil
yang berhasil memapankan diri sebagai kapitalis-kapitalis adalah bagaimana
membangun hubungan baru dengan Negara. Elemen-elemen terdepan dari
keluarga-keluarga birokrat-kapitalis dank lien berjuis besar dihadapkan kepada
masalah, bagaimana membuat Negara akuntabel bagi kepentingan kelas merka.
Pertarungan Golkar berupaya melakukan pergantian kepemimpinan pada para
cendikiawan berpengaruh pada saat itu seperti Soeharto, Habibie, Sisti
Hardiyanti Rukmana, yang tujuannya adalah memperkuat posisi Soeharto
4. Kemenangn
Politis Oligarki : terhadap Lawan-lawan Luar Negara
Di tahun 1980-an sampai hamper di tahun 1990-an
lembaga-lembaga kehidupan politik, termasuk partai-partai politik, parlemen dan
pemilu, masih menjadi instrumen kontrol Negara dan tidak menawarkan peluang
bagi representasi kepentingan dan kedudukan di pemerintahan. Kehadiran
undang-undang yang kontroversial tentang partai politik dan organisasi massa yang diterbitkan tahun 1985,
pada hakekatnya memformolasikan bahwa Negara hanya mengakui tiga partai
politik: Golkar, PPP dan PDI. Undang-undang tentang organisasi kemasyarakatn juga mengkonfirmasi monopoli korporatis
organisasi-organisasi ciptaan pemerintah dalam mewakili berbagai kepentingan
sosial.
Oposisi politik berbasis civil society masih sangat dibatasi oleh ketidakmampuan mereka
dalam membangun kendaraan organisasional yang efektif, yang dapat digunakan
untuk melakukan tantangan terhadap kekuasaan Negara. Organisasi-organisasi
buruh baru juga bermunculan, meskipun semua dipandang sebagai pengkhianat oleh
Negara. Akan tetapi, warisan disorganisasi yang menyertai penghancuran Partai
Komunis pada tahun 1960-an masih menjadi faktor pembatas bagi efektivitas
gerakan buruh.
RUNTUH
ORDE BARU
Ketika
para spekulan mata uang asing mulai menyerang rupiah Indonesia pada awal Juli
1997, kerapuhan politik dan ekonomi orde baru tidak bisa ditutup-tutupi. Utang
luar negeri sector swasta meningkat. Ketika pemerintah mengabaikan perlindungan
terhadap rupiah, memicu pelarian modal oleh investor domistik. Sementara itu
ketika bisnis swasta mulai gagal membayar utang-utang, bank-bank mengalami
goncangan, dibebani kredit macet yang tidak tertanggung, dan tidak bisa lagi
melayani kredit. Pemerintah sendiri kehabisan keuangan, rezim politik tak lagi
mampu memeras kroni-kroni yang tidak likuid atau melindungi sistem dari tuntutan
reformasi.
1.
Tercerai-berainya Ekonomi
Dihadapkan
dengan cepatnya keruntuhan dunia usaha dan sektor perbankan serta krisis
keuangan yang terus membayangi pemerintah Indonesia mengundang IMF tanggal 8
Oktober 1997. Kendali Soeharto tampaknya memperoleh kesan bahwa masuknya IMF
dapat memadamkan api, namun realitas tidak seperti yang diinginkan. Sejak saat
kedatangan IMF pemerintah terikat dengan perjanjian IMF, dan dikendalikan oleh
kekuasaan IMF, dengan menggariskan kesepakatan untuk memenuhi program-program
reformasi yang rinci.
Sebuah
keperihatinan lain bagi pemerintah adalah aggaran dibawah tekanan IMF untuk
membendung pengeluaran, anggaran yang bersifat kontraksioner akan memaksa
banyak perusahaan Indonesia jatuh bangkrut, pengurangan subsidi secara drastis
pada bahan pangan dan minyak menimbulkan
gejolak sosial dan kerusuhan. Dalam pada itu nilai rupiah anjlok mencapai Rp.
16.000,- terhadap 1 USṨ, Hal ini memicu kepanikan pasar tradisional dengan
melakukan penimbunan cadangan pangan dalam mengantisipasi gelombang inflasi
yang tak terelakkan. Bagi Soeharto, melindungi bangunan kekuasaan lebih menjadi
prioritas ketimbang menjalankan reformasi IMF. Upaya semacam ini terus
dilakukan, bahkan dengan ongkos kian menurunnya kepercayaan internasional
kepada Indonesia dan spiral kemerosotan rupiah. Kunci bagi situasi adalah rezim
politik.
2.
Tercerai-berainya Politik
Kendati Indonesia terlempar ke dalam gelombang krisis
ekonomi yang makin dalam, Soeharto pada mulanya terlihat begitu tidak
tergoyahkan secara politik. Ini terbukti pada bulan Maret 1998, ketika dia
berhasil mengorkestrasikan suatu pemilihan kembali dirinya dengan suara bulat
oleh supra parlemen Indonesia, MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Ini adalah
tambahan lima tahun lagi masa pemerintahannya. Akan tetapi, di belakang
rutinitas kemeriahan sidang MPR itu legitimasinya semakin terkikis ketika dia
gagal menghentikan laju ketercerai-berainya ekonomi Indonesia serta keruntuhan
dunia usaha dan lembaga-lembaga keuangan. Secara domestik dan internasional,
Soeharto sendiri sekarang dipandang sebagai akar penyebab masalah ekonomi
Indonesia ketimbang solusinya.
Dalam sebuah makalah Crouch mengisyaratkan bahwa
kejatuhan Soeharto secara signifikan disebabkan pertambahan usia, yang telah
mengurangi kapasitasnya memimpin dan kemampuannya untuk mengidentifikasi serta
memecahkan masalah-masalah yang terjadi di tengah krisis ekonomi yang
tiba-tiba. Ketidakmampuan dirinya untuk membedakan antara
kepentingan-kepentingan keluarganya dan krooni-kroninya dengan kepentingan
Negara. Mengikuti tuntutan-tuntutan reformasi IMF, sama artinya dengan
terkikisnya kepentingan-kepentingan dan posisi yang kokoh dari oligarki yang
telah dikonsulidasikan dibawah orde baru. Gerakan mahasiswa adalah faktor yang
paling krusial dalam memobilitasi protes-protes melawan Soeharto, koalisi
kepentingan baru yang kuat dan siap untuk mendesakkan agenda reformasi yang
jelas, dalam kenyataan belum ada sama sekali. Ketidakmampuan Soeharto di masa lalu untuk
mengorganisasi basis kekuasaan yang tepat diluar aparat Negara. Golkar, sebagai
partai pemerintah, tidak pernah benar-benar terbangun menjadi partai yang
efektif dari golongan kaya dan berkuasa, dan oleh karena itu pelestarian
kekuasaan oligarki selama ini tergantung pada seberapa lama Soeharto berkuasa.
REORGANISASI
KEKUASAAN SETELAH KRISIS
Tidak diragukan lagi, peristiwa-peristiwa yang menyertai
krisis 1997 secara telak telah merusak oligarki bisnis-politik. Tidak lagi
mampu untuk berlindung kepada negara otoritarian yang sangat sentralistik untuk
mendukung kepentingan-kepeningannya, mereka mendapati bahwa lebih sukar untuk
beroperasi di dalam arena pemilihan umum, partai-parlai politik, dan parlemen
yang tidak dapat diprediksi dengan mudah. Bersamaan dengan itu pula,
perimbangan kekuatan segera berayun secara signifikan kepada kekuatan-kekuatan
yang tidak sekadar bermaksud mereformasi lembaga-lembaga politik dan ekonomi,
melainkan juga menyerukan untuk menuntut pertanggungjawaban keluarga-keluarga
bisnis-politik dan para konglomerat lama. Dengan pengaruhnya yang begitu besar,
IMF kini secara efektif menjadi bagian dari latar perubahan politik di
Indonesia.
Badan-badan audit Negara direvitalisasi dan diberi
otoritas baru untuk memeriksa perusahaan-perusahaan, bank-bank, dan
kementerian-kementerian Negara. Badan-badan swasta yang didirikan untuk
mengawasi aktivitas politik dan bisnis juga didirikan, sementara itu media
massa yang vokal dan kerap dianggap mengganggu kini mengawasi berbagai
aktivitas tokoh-tokoh publik dan kesepakatan-kesepakatan bisnis. Dalam bidang
ekonomi konglomerat-konglomerat lama tetap menjadi satu-satunya pemain. Tidak
ada aliran investasi asing yang masuk menggantikan konglomerat-konglomerat
lama. Tidak ada borjuis domestic yang muncul untuk mendorong suatu revolusi
neoliberal atau untuk merangkul sistem pasar melalui berbagai peraturan.
1.
Reorganisasi Kekuasaan Ekonomi :
Restrukturisasi Utang dan
Rekapitulasi
Bank-bank
Menjelang 1998, hamper semua pengusaha Indonesia tidak
mampu lagi mengupayakan pembayaran utang.
Medan utama dari konflik ini adalah sektor perbankan. Manakala
perusahaan-perusahaan ambruk, sektor perbankan dilanda oleh gelombang pinjaman
tidak lancar, yang diperkirakan oleh Standar and Poor's sebesar 85 persen dari
total pinjaman pada akhir 1999. Sebuah badan restrukturisasi perbankan, BPPN,
didirikan bulan Januari 1998, untuk mengimplementasikan suatu rencana
rekapitalisasi yang komprehensif. Menjelang pertengahan 1999, 66 bank swasta
telah ditutup, sementara dua belas lainnya diambil alih oleh negara dan
direkapitalisasi. Untuk membiayai
restrukturisasi ini, pemerintah menerbitkan obligasi-obligasi yang pada akhirnya
memakan biaya yang ditaksir sebesar 87
USṨ atau sekitar 82 % dari GDP Indonesia. Tugas
BPPN dengan segera berubah dari menutup bank-bank yang lemah dan
merekapitalisasi bank-bank yang berpotensi untuk bertahan hidup, menjadi
mengamankan aset-aset dari para debitor dan menjualnya. Akan tetapi, menjelang
pertengahan 2000, BPPN mengakui, hanya akan mengganti 20 persen dari 87 miliar US Dollar yang telah dibelanjakan
pemerintah dalam program rekapitalisasi. Menjadi jelas bahwa para konglomerat
tidak saja mampu bertahan, tetapi juga berada pada posisi yang kuat untuk
menegosiasikan syarat-syarat masuknya mereka kembali ke perekonomian Indonesia.
Sejumlah besar bank yang menghindari penutupan atau
pengambilalihan oleh pemerintah jelas-jelas tidak memiliki peluang besar untuk
bertahan dan tidak memenuhi kriteria CAR. Akan tetapi masalah riil segera
berubah, yaitu menjadi upaya memaksa para debitur untuk menyerahkan
asset-asetnya guna menutupi biaya BLBI dan jaminan utang BPPN. Masalah-masalah utang domistik tersebut tidak
pula menghentikan investasi-investasi strategis para konglomerat Indonesia di
luar negeri. Selanjutnya keuntungan besar dinikmati oleh para konglomerat
adalah kelemahan dan korupsi lembaga-lembaga peradilan. Dalam serangkaian
keuptusan bebas yang mengejutkan di Pengadilan Kepailitan dan Mahkah Agung,
tokoh-tokoh bisnis kakap melenggang bebas dari tuntutan kebangkrutan dan
tuduhan kriminal.
Dari sudut pandang pemerintah dipaksa untuk mencabut
tuntutan-tuntutannya, untuk berkompromi dengan merestrukturisasi utang dan
mengizinkan para konglomerat untuk membeli kembali asset-asetnya. Namun keadaan
ini menimbulkan tuduhan bahwa pemerintah melakukan kolusi dan dianggap gagal
mengambil langkah hokum terhadap kriminal-kriminal dunia usaha.
2.
Reorganisasi Kekuasaan Ekonomi:
Membongkar Lembaga-Lembaga Predatoris ‘Penjaga Gerbang’
Kekuasaan oligarki-oligarki bisnis-politik juga melekat
di dalam sistem lembaga-lembaga 'penjaga gerbang' strategis. yang paling
menonjol di antaranya adalah bank-bank pemerintah dan BLBI, Pertamina, Bulog,
Departemen Kehutanan dan perkebunan, serta penyedia listrik negara, PLN
(Perusahaan Listrik Negara). Akses terkontrol ini merupakan suatu sistem luas
penyaluran kredit, lisensi-lisensi pengeboran dan eksploitasi, hak distribusi
minyak dalam industri perminyakan, kontrak-kontrak untuk pasokan dan
pembangunan konstruksi, impor dan monopoli distribusi untuk beras dan gula,
serta 61 juta hektar konsesi hutan Indonesia.
Ketika kesepakatan-kesepakatan reformasi IMF
diberlakukan, lembaga-lembaga ini menjadi sasaran bagi meningkatnya audit dari
badan-badan audit pemerintah yang telah direvitalisasi maupun badan-badan
internasional swasta. Kredit, lisensi, dan monopoli mengalir secara
besar-besaran kepada sekelompok kecil perusahaan inti yang secara politik
saling berhubungan, yang didominasi keluarga Soeharto dan rekan-rekan
terdekatnya. Sebagian besar kontrak dan lisensi dialokasikan tanpa tender
terbuka, upaya mark-up besar-besaran, serta pemasangan harga yang tinggi (overpricing). Ini semua merupakan
mekanisme yang umum untuk merampok sumberdaya pemerintah.
Pada tingkat tertentu Negara acapkali juga terlalu lemah
untuk menegakkan hokum terhadap para pejabat politisi. Dana besar dan
individu-individu yang berkuasa yang
meliputi militer, polisi, pejabat, serta anggota parlemen local melindungi
bisnis penebangan liar. Dengan ambruknya Negara sentral yang kuat dan peralihan
kekuasaan, kebangkitan predator-predator local dan regional di luar otoritas
sentral Negara agaknya semakin menjadi masalah. Parlemen terbukti menjadi arena
di mana lawan-lawan reformasi, maupun para pendukungnya mampu untuk
memobilisasi kekuasaan. Oposisi terhadap pelucutan kekuasaan lembaga-lembaga
penjaga gerbang tidak hanya datang dari kepentingan-kepentingan bisnis swasta
yang kuat melainkan juga dari ketakutan kalangan nasionalis akan terlepasnya
control kekayaan Indonesia kepada kepentingan-kepentingan asing dan permainan
pasar global.
3.
Reorganisasi Kekuasaan Politik
Jatuhnya Soeharto bulan Mei 1998 menandai penutupan suatu
babak besar dalam sejarah kontemporer Indonesia. Sistem korporatis yang sekian
lama kokoh dan sangat terkontrol itu menjadi tidak dapat dipertahankan lagi
ketika sederet kendaraan partai-partai
politik baru serta asosiasi-asosiasi seperti serikat-serikat buruh lndependen
bermunculan. Golkar, sebuah pilar pemerintahan Orde Baru, mengalami kekalahan
pertamanya bulan Juni 1999 militer, elemen kunci lainnya, diharuskan untuk
mundur secara signifikan dari keterlibatan mereka yang terlalu besar dalam
masalah-masalah sosial dan politik.
Namun bukannya suatu transisi yang tidak terelakkan
menuju bentuk-bentuk demokrasi liberal' pergeseran ini ternyata mengarah pada
suatu sistem politik uang yang lebih cair dan terdesentralisasi, di mana
kepentingan-kepentingan lama dapat menemukan cara menata kembali diri mereka
melalui aliansi-aliansi baru. Bersamaan dengan itu pula parlemen dan
partai-partai menjadi lebih penting. Kedudukan baru partai-partaii politik dan
parlemen telah membuka ruang publik, hal ini juga secara paradox justru
mempertahankan pengisolasian para elit dari tekanan kelas bawah. Dengan
demikian kelompok-kelompok sosial yang secara politis termajinalisasi tetap
dikesampingkan dari proses menuju kekuasaan.
Desentralisasi kekuasaan juga tercermin dalam bangkitnya elite-elite
daerah. Ini tergambar dalam undang-undang baru tentang pemerintahan daerah,
yang secara signifikan memperkuat kekuasaan aparat pemerintahan lokal. Dengan
demikian, kepentingan-kepentingan oligarkis lokal yang berkembang di dalam
sistem patronase Orde Baru bisa jadi akan muncul sebagai suatu kekuatan yang
lebih menonjol di dalam persaingan memperebutkan kontrol terhadap negara dan lembaga-lembaganya
di tingkat lokal. Persebaran politik dengan cara semacam itu jelas tidak akan
mungkin terjadi di bawah rezim Soeharto yang sangat sentalistik.
Sistem yang menekankan pemilu, partai-partai politik dan
parlemen, harus dipahami dari sudut pandang para pewaris dari rezim yang telah
hancur, yang berjuang untuk menjamin kelangsungan mereka dalam perubahan
lingkungan sosial dan politik menyusul kejatuhan Soeharto. Penerapan politik
pasca orde baru, yang selalu berusaha untuk dapat mempengaruhi kerangka politik
baru, sistem yang menekankan pemilihan
umum, partai-partai politik, dan parlemen, harus dipahami dari sudut pandang para
pewaris dari rezim yang telah hancur,
yang berjuang untuk menjamin kelangsungan mereka dalam perubahan lingkungan
sosial dan politik yang terjadi menyusul kejatuhan Soeharto. Hal yang utama bagi
Habibie adalah rencana penyelenggaraan pemilihan umum nasional bagi calon
anggota parlemen bulan Juni 1999, yang kemudian diikuti dengan sidang MPR untuk
memilih presiden dan wakil presiden.
Golkar memiliki suatu kapasitas yang telah terbukti dalam
mengalokasikan patronase dan membangun aliansi-aliansi politik, birokratik dan
militer. Pentingnya sosok Golkar merupakan salah satu indicator yang
menunjukkan bahwa kekuatan-keuatan lama masih memainkan suatu peran besar dalam
proses pembentukan rezim baru. Partai-partai politik dan parlemen kini menjadi
kendaraan utama menuju kekuasaan dan peluang untuk menemukan aliansi-aliansi
baru. Partai-partai politik tersebut antara lain adalah PDIP, PKB, dan PAN. Pemunculan
kekuatan politik melalui partai tidak berani muncul secara mandiri, disamping
kekuatan mereka masih dipengaruhi oleh nuansa politik orde baru, ketakutan
mereka juga terhadap turunnya kekuatan militer, oleh sebab itu mereka lebih
memilih berkoalisi. Pemain besar terakhir dalam reorganisasi politik adalah militer.
Masalah utama bagi militer adalah bahwa sistem yang didominasi oleh elite-elite
partai politik mungkin tidak memerlukannya sebagai 'bodyguad'. Namun militer
memiliki kepentingannya sendiri untuk bertindak sebagai kekuatan politik yang
memiliki hak tersendiri.
KESIMPULAN
Kasus Indonesia adalah ilustrasi yang nyata dari proses
yang memungkinkan moda-moda kekuasaan otoritarian dan predatoris untuk
mengakomodasi pendalaman transfomasi kapitalis dan integrasi dalam pasar-pasar
modal global. Krisis keuangan Asia telah mencerai-beraikan rezim-rezim politik
di Indonesia dan di tempat-tempat lain di kawasan ini, serta merontokkan
fakta-fakta dominasi yang menopangnya. Hal ini menyebabkan tidak mungkin lagi
bagi oligarki-oligarki politik dan bisnis untuk memerintah dengan cara yang
sama. Namun, yang membuat frustrasi IMF, Bank Dunia, dan pengamat-pengamat
neoliberal lainnya, perangkulan pasar dan pergeseran kepada bentuk-bentuk
kepemerintahan (governance) publik
dan privat yang akuntabel dan transparan di segenap penjuru kawasan ini
berjalan tersendat-sendat dan hanya ambisi. Telos efisiensi yang tak dapat
ditawar-tawar itu tidak muncul untuk mendorong Indonesia menuju suatu
kemenangan yang mutlak dari sistem pasar dan demokrasi. Sebaliknya,
koalisi-koalisi yang kukuh dan kompleks antara negara dan kekuasaan kelas dominan
terbukti telah berhasil dalam mereorganisasi kekuasaan mereka di dalam
lembaga-lembaga baru, serta membentuk aliansi-aliansi politik dari berbagai
kekuatan itu untuk memasuki sekaligus mendominasi arena politik baru.
Terdapat daya tarik alamiah dari sistem politik
otoritarian yang mampu memaksakan stabilitas dan mengesampingkan apa yang
disebut koalisi-koalisi distribusional: buruh, lobi-lobi kesejahteraan sosial,
dan pencinta lingkungan. Dengan
demikian, mendasarkan diri atas sistem monopolistik agaknya menguntungkan juga.
Korupsi tidak selalu menjadi masalah selama ia memiliki struktur yang jelas dan
tidak mengancam hak-hak atas kepemilikan. Oleh karena itu, dalam kasus
Indonesia, keprihatinan utama kalangan bisnis adalah runtuhnya hukum dan ketertiban
serta tercerai-berainya kekuasaan pusat, yang membuat korupsi tidak
terprediksi. Kekuatan-kekuatan liberal di Indonesia tidak dapat memohon
dukungan dari kalangan bisnis internasional atau kapitalis domestik yang sangat
antidemokrasi dan takut kepada pasar terbuka.
Dalam pergulatan untuk membentuk Indonesia baru, Wahid
terbukti tidak mampu memobilisasi koalisi reformasi yang kohesif dan efektif,
dan pada akhirnya tercampak dari kekuasaan. Megawati tampaknya telah belajar
dari pengalaman bahwa kekuasaan di dalam demokrasi tidak saja membutuhkan
akomodasi dengan berbagai kepentingan yang kuat, khususnya dengan aparat
keamanan dari rezim lama, tetapi juga dengan para pialang dan bandar politik
yang kini mengisi parlemen di pusat dan daerah.
Halo, nama saya Mia Aris.S. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah scammed oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800.000.000 (800 JUTA ) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%. Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah i diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena aku berjanji padanya bahwa aku akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman dalam bentuk apapun, silahkan hubungi dia melalui emailnya: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com
BalasHapusAnda juga dapat menghubungi saya di email saya ladymia383@gmail.com.
Sekarang, semua yang saya lakukan adalah mencoba untuk bertemu dengan pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening bulanan.
BERITA BAIK BERITA BAIK
BalasHapusHalo semuanya, saya SUWANDI dari indonesia. Saya menyarankan Anda semua di sini untuk tidak mengajukan pinjaman di mana-mana untuk perusahaan atau pemberi pinjaman di halaman web ini, sebagian besar perusahaan di sini adalah tipuan, penipuan dan penipuan, dan juga beberapa testimonial di sini salah, mereka adalah orang yang sama. Karena itu, tolong berhati-hatilah untuk tidak menjadi persekutuan mangsa Indonesia. Saya ditipu empat kali kira-kira Rp 200.000.000 untuk biaya registrasi, biaya transfer, bea cukai dan biaya asuransi, setelah pembayaran ini saya tidak mendapatkan pinjaman saya, tapi mereka meminta saya untuk membayar berkali-kali. Ini akan menarik minat Anda untuk mengetahui ada undang-undang tentang pembiayaan undang-undang atau peraturan dewan ini untuk mendapatkan pinjaman dari undang-undang pemberi pinjaman atau perusahaan mana pun. Saya bersyukur bahwa saya menerima pinjaman cepat sebanyak $ 250.000 dari perusahaan yang diperkenalkan teman saya Achmad Halima. Perusahaan pinjaman yang dapat dipercaya dan dapat dipercaya (ALEXANDER ROBERT). Mereka sekarang menjadi perusahaan terbesar di AS, Eropa dan seluruh Asia. Misi dan komitmen Anda kepada Alexander's Loan Company didedikasikan untuk meringankan impian Anda dan membantu kita semua yang telah ditipu dan ditipu dalam proses mendapatkan pinjaman segera, memberi Anda keramahan kelas dunia. Perusahaan Pinjaman Alexander atau pemberi pinjaman pinjaman tahu apa yang seharusnya ada di sepatu Anda dan mereka berusaha keras untuk tidak melupakan perasaan itu. Mereka akan mendapatkan kepercayaan Anda dengan mengkomunikasikan kepada Anda informasi yang perlu Anda ketahui, jika Anda perlu mengetahui dan hak untuk menawarkan pinjaman (pedagang pribadi atau pinjaman) dan layanan keuangan.
Saya sangat mengabdikan diri untuk membantu negara saya mendapatkan pinjaman dari penipuan dan segera, e-mail saya (suwandirobby01@gmail.com) atau (achmadhalima@gmail.com)
Hubungi saya atau (alexanderrobertloan@gmail.com) untuk informasi lebih lanjut, saya bersedia membantu. Tuhan memberkati kalian semua.